![]() |
aslibumiayu.wordpress.com |
“Jama’ah Shalat Terawihnya semakin maju”, kata seorang pengurus DKM (Dewan Kemakmuran
Masjid) masjid di sebuah kompleks perumahan. Jangan keburu senang atau keliru
persepsi. Yang dimaksud maju oleh Bapak DKM tersebut bukan semakin hebat
jama’ahnya, tapi sebaliknya justru semakin berkurang. Coba bayangkan, pada
waktu minggu-minggu pertama bulan Ramadlan hampir semua masjid atau mushalla
penuh sesak jama’ah yang shalat Terawih. Tapi begitu memasuki pertengahan bulan
puasa jama’ah mulai berkurang.
Memang bisa saja orang beralasan. Ada yang bilang
: mungkin disebabkan Ibu-ibu banyak yang datang bulan (uzur syar’i). Ada yang
mengatakan mungkin Ibu-ibu mulai sibuk bikin kuwe lebaran. Benar saja, itu bagi
Ibu-ibu. Tapi kenyataannya bukan hanya ibu-ibu yang tidak datang ke masjid,
tapi juga bapak-bapak. Lantas ada yang bilang, “Oo mungkin karena sudah banyak
yang pulang kampung”. Yang jelas banyak sekali alasan yang dikemukakan atas
bentuk kemajuan shaf (barisan) jama’ah shalat terawih.
Persoalannya, sebenarnya tidak terletak pada semua
alasan tersebut. Persoalan yang sesungguhnya, adalah minimnya pengetahuan
(keagamaan) tentang urgensi shalat malam atau terawih bagi shaimin dan shaimat.
Bukankah semakin akhir Ramadlan justru semakin besar pahalanya.? Semakin
bernilai transenden ? Ibaratnya orang pertandingan sepak bola, punya
urutan yang lazim. Pertama disebut babak penyisihan, urutan kedua; babak semi
final. Dan yang paling berat adalah babak final. Di mana semua peserta lomba
harus meningkatkan stamina dan kemampuan bertandingnya. Demikian juga dalam
menghadapi detik-detik Ramadlan yang merambat menuju tangga terakhir (likuran).
Kontemplasi
Rasulullah saw. mengajarkan kepada para isterinya,
sahabat-sahabatnya dan juga kita semua, bahwa menutup Ramadlan hendaknya
semakin dekat dengan Allah. Semakin memperbanyak ihya u layali (melek
malam). Semakin sering berada di masjid. Kalau biasanya banyak kerja di kantor
atau tempat kerja, maka semakin akhir hendaknya sesering mungkin berada di
dalam masjid. Maka Rasulullah saw. mengajarkan kita untuk ber-I’tikaf
di masjid. Bahkan Nabi saw. bukan hanya semalam atau dua malam, tapi
sepuluh malam terakhir bulan Ramadlan.
Apa itu I’tikaf ? I’tikaf itu ya berdiam diri di
masjid. Berdiam saja, nggak ngapa-ngapain. Lalu mungkin ada yang bertanya; “untuk apa berdiam
diri di dalam masjid?” Tentu saja pertanyaan semacam itu logis saja bagi
manusia. Apa lagi manusia modern yang sibuk dengan aktivitas duniawi seperti
sekarang ini. “Kok buang-buang waktu saja,” begitu gerutunya. Pada hal kalau
mau tahu, yang namanya I’tikaf itu merupakan kontemplasi tingkat tinggi. Di
mana seseorang butuh satu waktu untuk berdiam diri secara fisik. Tangan, kaki
dan seluruh anggota tubuh tidak banyak bergerak. Bila perlu duduk bersimpuh.
Untuk ber-munajat kepada Sang Pencipta; Allah Rabbul jalali.
Dengan berdiam diri itulah, sa’at yang tepat untuk
merenung, introspeksi dan koreksi atas perbuatan kita selama satu tahun yang
telah lampau. Plus-minusnya dari tindakan kita. Apakah sudah sesuai perjalanan
kita dengan tuntunan Tuhan atau masih jauh dari tatanan dan tuntunan kosmic dan
syar’i. Hukum alam (sunnatullah) atau syari’at-Nya. Kalau belum, di bagian mana
yang kurang. Kalau masih banyak penyimpangan yang mana yang harus dikembalikan
pada rel yang benar. Lalu rencana ke depan, apa yang harus kita kerjakan. Masa
depan di dunia, juga masa depan di akhirat. Firman-Nya “wal-tandzur nafsum maa
qaddamat lighad”. Semua orang hendaknya mau melihat pekerjaan yang sudah untuk melangkah
ke depan.
Toleran
Dengan puasa
yang penuh ketekunan dan keikhlasan memungkinkan manusia untuk melakukan
penghayatan spiritual. Melakukan perenungan yang salah satunya bersedia
menyisihkan sebagian waktunya untuk ber-I’tikaf di masjid. Sebab dengan I’tikaf
itulah seseorang dapat keheningan dan kebeningan hati. Suara hati akan terdengar nyaring oleh pemilik
telinga itu sendiri.
Dengan begitu setiap tarikan nafas orang yang
melakukan I’tikaf akan dapat merasakan bahwa manusia itu kecil di hadapan
Tuhannya. Merasa tak berdaya dibanding dengan kebesaran Tuhan yang mencipta dan
mengatur kosmos semesta ini. Jadi yang besar itu hanya Tuhan. Bukan manusia,
sekalipun berpangkat maupun berharta atau berlimpah dunia. Mengapa demikian ?
Karena ia mengetahui jika punya jabatan, itu hanyalah titipan Tuhan yang
sebentar lagi akan diambil kembali oleh yang menitipkannya. Kalau ia punya
harta kekayaan, maka ia sadar bahwa harta itu juga titipan. Pemilik yang hakiki
adalah Yang Maha pemberi dan Maha Pemurah, yaitu Allah swt. Lantas
bagaimana dengan hak manusia ?
Manusia hanya
berhak memanfa’atkan. Berhak menikmati
tanpa harus merusak. Maka Allah swt. juga memberi tahu kepada kita bahwa kepemilikan harta dunia itu hanya
kamuflase. “Wamal-hayatud dun ya illa mata’ul ghuruur”, tiadalah kehidupan
dunia itu kecuali hanya tipuan belaka.” Artinya kesenangan dunia hanya sesa’at,
tidak abadi. Maka dari pemahaman itulah seseorang yang lulus dalam I’tikafnya
akan merasa senasib dan sepenanggungan dengan orang-orang lain yang ada di
sekitarnya. Karena pemahaman inilah , maka ia hormat pada orang lain. Bisa
memahami keberadaan orang lain dan bisa bekerja dengan orang lain. Firman Allah
swt : “Lita’arafuu”, untuk saling kenal dan “ta’awun”, saling Bantu
membantu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi semakin toleran terhadap orang
lain. Karena merasa saling menyayangi dan disayangi.
Semoga puasa yang kita lakukan selama Ramadlan
kali ini dapat mendorong kita untuk mengakhirinya dengan ber-i’tikaf di
masjid-masjid. Guna menyempurnakan ibadah kita, sehingga meraih derajat taqwa
yang sebenar-benarnya. Wallahu a’lam bis shawab.
Depok, 25 Agustus 2011.
K. H. Drs. A. Mahfudz Anwar,MA
( PD. MUI Kota Depok)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar