"Welcome to LENTERA ISLAM" Semoga bermanfaat Happy Reading

Selasa, 29 September 2009

Tawakkal Bukan Putus Asa


Tawakal sering disalah artikan oleh banyak orang. “Ah, saya tawakal saja”, begitu gumamnya ketika malas bekerja dalam kemiskinannya. Pada hal yang sesungguhnya tawakal itu “berserah diri kepada Allah swt”. Menggantungkan usahanya kepada Allah swt. setelah berusaha maksimal. Dan menyandarkan kekuatannya kepada kekuatan Tuhan Yang Maha Kuat.

Ketika seseorang menyatakan dirinya bertawakal kepada Allah swt, maka orang tersebut semestinya memperoleh kekuatan baru, kekuatan yang datang dari Allah swt. Sebab orang yang tawakal itu tidak mengenal putus asa dalam hidupnya. Mengapa demikian ? Karena tawakal kepada Allah swt. itu merasa dibantu oleh Tuhan yang Maha Hidup dan tak pernah mati. Artinya sebagai tempat bergantung yang tak ada batas akhirnya. Berbeda halnya jika bergantung kepada selain Allah (makhluk); pasti ada batasnya. Ada akhirnya, bisa usang, bisa lapuk, bahkan bisa lenyap dari muka bumi ini.

Karena itu orang yang tawakal merasa tenang dalam menghadapi kehidupan ini. Apa pun persoalannya, kecil maupun besar dihadapi dengan tenang dan tidak emosional. Ia yakin bahwa usahanya tidak akan sia-sia. Setiap apa yang dikerjakan ia yakini membawa dampak. Apa lagi perbuatan baik, pasti berakhir baik pula. Jadi ia yakin bahwa janji Allah itu pasti kan datang kepadanya.

Tidak Gentar

Dalam sejarah Islam dituturkan, ketika umat Islam diprofokasi oleh orang-orang munafik agar memboikot instruksi Nabi saw. tentang perang Badar. Mereka mengatakan “Hasbunallah wa nikmal wakiel”, cukup Allah Yang melindungi kami, karena Dia-lah sebaik-baik Pelindung. Jadi sa’at itu umat Islam (yang diprofokasi) bukannya patah semangat, tapi sebaliknya justru berkobar-kobar semangat joangnya. Segala kemampuan mereka kerahkan untuk jihad melawan musuh. Harta dan jiwanya mereka curahkan sepenuhnya untuk kepentingan jihad itu.

Pada hal mereka tahu bahwa kekuatan fisik maupun ketersediaan logistik musuh jauh lebih hebat dari pada persiapan kaum muslimin. Dengan modal pas-pasan, tapi semangat maksimal akhirnya mereka tidak gentar sedikitpun menghadapi musuh yang jauh lebih kuat. Mereka yakin bahwa mereka bekerja dalam bimbingan Tuhannya, maka Tuhan pun menolongnya. Dan akhirnya mereka peroleh kemenangan gemilang berkat Fadlal dan Rahmat-Nya, tanpa ada hambatan yang berarti.

Dalam menggambarkan keberhasilan mereka, Allah swt. menandaskan dalam firman-Nya : “Betapa banyak kelompok yang sedikit bisa mengalahkan kelompok yang lebih besar.” Hal ini meyakinkan kepada kita bahwa orang yang tawakal itu tidak gentar menghadapi apa pun. Asal dia berjalan dan bergerak dalam aturan Allah. Karena aturan Allah dibuat bukan untuk memberatkan manusia, tapi justru sebaliknya membuat kemudahan dalam hidup ini. Maka sebenarnya dalam keterpurukan ekonomi bangsa Indonesia seperti sekarang ini tidak menjadikan kecil hati bagi orang yang tawakal. Tapi menjadikan cambuk untuk bangkit berusaha dan bekerja maksimal yang sesuai dengan aturan Allah. Himpitan ekonomi tidak menjauhkan diri dari Allah, tapi malah semakin mendekatkan diri kepada – Nya.

Produktifitas tinggi

Nabi saw. Mencontohkan tawakal itu seperti perilaku burung. Sabdanya : “ Burung itu kalau pagi perutnya kosong, lalu terbang ke sana ke mari mencari makan dan sore hari kembali ke sarangnya dalam keadaan perut kenyang.” Artinya, ini pelajaran bagi orang Islam yang tawakal itu semakin produktif hidupnya. Tidak mau diam, sampai terpenuhi kebutuhan hidupnya, kebutuhan anak dan isterinya. Yakni kebutuhan yang mencukupi untuk sarana ibadah kepada Allah swt. Kebutuhan makan misalnya, dicari yang halal untuk menjaga dan menambah kekuatan fisiknya agar kuat puasa dengan sahur yang bergizi dan berbuka yang lezat dan menyenangkan. Bahkan berusaha memberi makan untuk teman-temannya yang berbuka puasa (ta’jil). Kebutuhan rumah, dicari rumah yang bisa menaungi keluarganya dan mampu menampung tamu-tamunya yang datang. Sehingga ia dapat menghormati tamu dengan baik (ikramudl dlaif).

Oleh karena itu orang yang tawakal tidak pernah stress apa lagi gila. Baik gila harta, gila jabatan, apa lagi gila beneran. Bagaimana mungkin ? Orang tawakal itu berfikirnya pas, sesuai dengan takaran. Dan bekerja pun sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Tidak ngoyo, tidak memaksakan diri, tidak melampaui batas. Kerja kerasnya terukur. Kerja terus, tapi di sa’at azan, ia pun shalat. Dan targetnya juga terukur, tidak mau melampaui batas kemampuan yang bisa jadi menyebabkan korupsi dsb. Jika targetnya tidak tercapai, dikembalikan kepada Allah swt. Keyakinannya terhadap kehendak (Iradah) Allah menjadikan peran dirinya dalam hidup ini hanya sebatas kemampuan yang diberi Allah.

Maka orang yang tawakal selalu sadar bahwa tidak selalu modal kecil untung kecil, modal besar untung besar. Bisa saja terjadi sebaliknya. Karena hanya Allah yang mampu memberi keuntungan atau kerugian. Yang penting bagi dirinya adalah kerja keras dan tidak melanggar aturan. Logikanya semakin tepat dengan aturan , maka semakin mendekati keberhasilan. Wal-hasil dunia tidak dikejar, tapi dunia yang akan mengejar. Sebab setiap prestasi akan mendatangkan bonus tersendiri. Dan setiap pelanggaran akan mendatangkan kerugian. Maka (seperti dalam sejarah) wajar kalau Nabi Musa alaihis salam sukses berjuang dan selamat dari ancaman Fir’aun, karena ia mengatakan :”wa ufawwidlu amri ilallah,” dan aku serahkan sepenuhnya urusanku kepada Allah. Dalam hal itu ia katakan setelah berjuang keras, baru menyatakan berserah diri kepada Allah.

Kalau kita belajar dari kisah perjalanan sukses Nabi Musa tersebut, maka Fir’aunisme yang sekarang merajalela tidak menjadi penghalang dalam optimisme hidup ini. Semoga akan muncul Musa - Musa abad modern yang mampu menyelamatkan umat ini dari keterpurukan dan kehancuran. Wallahu a’lam bis shawab.

Read More..

Minggu, 20 September 2009

Puasa Syahwat



Ketika Rasulullah saw. menjelaskan manfa’at puasa di antaranya disebutkan bahwa puasa itu berfungsi sebagai perisai bagi seorang muslim. Meskipun - asal sasaran hadits tersebut adalah pemuda yang belum mampu menikah, Beliau sarankan agar hari-harinya diisi dengan berpuasa untuk memecah sahwat. Namun ketentuan ini berlaku umum. Artinya puasa bisa menjadi benteng pertahanan bagi siapa saja yang mau berpuasa.
Tentu saja yang dimaksud oleh Rasulullah saw. tersebut adalah menahan sahwat (nafsu birahi) terhadap wanita atau lawan jenis. Sebab puasa pada dasarnya tidak hanya menahan nafsu makan dan minum, tapi juga nafsu berhubungan sebadan. Hal ini jelas bahwa puasa tidak hanya melatik ketahanan fisik saja, tapi juga melatih pertahanan mental spiritual.
Kontemplasi yang dilakukan dalam peribadatan puasa diharapkan dapat mencapai tujuan akhir puasa, yaitu menjadi manusia yang bertaqwa ( Q.S.Al-Baqarah: 183). Dan manusia bertaqwa adalah manusia yang mantab keyakinannya dan benar amal perbuatannya. Atau dalam kata lain, yaitu orang yang beriman dan beramal shaleh. Maka dari pada itu Imam besar Al-Ghazali Guru Besar Sufi dalam kitabnya Ihyau Ulumid Dien menjelaskan bahwa puasa itu identik dengan sabar, sedangkan sabar itu setengah dari pada Iman.

Maka jelaslah bahwa orang berpuasa dengan niat yang benar (ikhlas semata-mata karena Allah swt), akan memiliki sifat dan sikap yang penyabar dan penyayang. Karena hati mereka sudah biasa terlatih dalam kesabaran. Sabar menunda tidak makan walau lapar, sabar tidak minum meskipun haus dan sabar menunda tidak menggauli istrinya sekalipun punya hasrat –libido- di siang hari.

-Syahwat Terkontrol

Syahwat ingin makan pada sa’at berpuasa bisa dicegah dengan melakukan berbagai aktifitas baik bersifat rohani maupun bersifat jasmani. Dan sahwat ingin minum bisa juga ditahan dengan mengurangi kegiatan yang menguras energi fisik. Apa lagi nafsu biologis ingin bersebadan dengan perempuan atau istri bisa ditahan dengan mengurangi asupan yang berkolesterol tinggi yang membuat darah menjadi hot (tegangan tinggi) seperti konsumsi daging kambing dan sejenisnya.

Jadi dengan berpuasa seseorang bisa mengontrol tiga nafsu keinginan sekali gus, makan, minum dan berhubungan sebadan. Dan ini sesuai dengan tu7ntunan Rasulullah saw yang membebaskan konsumsi segala jenis makanan dan minuman, kecuali yang diharamkan. Maka seseorang yang berpuasa mengendalikan nafsu makan di siang hari yang memang kebiasaan itu dilakukan di siang hari. Sedangkan di malam hari digunakan untuk istirahat atau tidur. Dampak dari latihan itu akan menjadi terlatih mampu menahan diri dari makanan yang tidak baik dan tidak halal. Sebagaimana Allah swt. melarang secara umum kepada kita untuk tidak makan makanan secara batil /proses yang tidak halal. (Q.S. An-Nisa’:29).


Korupsi yang marak akhir-akhir ini merupakan bagian dari cara memperoleh harta/makan barang secara batil/tidak halal. Dan prosesnya yang tidak benar itulah yang dilarang agama seperti dalam ayat tersebut. Hal itu karena akan menimbulkan penindasan dan pemiskinan bagi orang lain. Juga akan memunculkan sifat serakah bagi pelakunya. Dan itu akan berdampak dicabutnya berkah dari muka bumi, seperti yang terjadi pada umatnya Nabi musa yang serakah terhadap makanan Manna dan Salwa. Maka orang yang berpuasa akan melahirkan sifat qana’ah (tidak serakah), sebab ia merasa cukup dengan rizki yang ia peroleh dengan cara yang halal saja.

Sedangkan syahwat biologis bisa lebih terkontrol dengan menjalankan ibadah puasa dengan ikhlas karena Allah swt. Sebab puasa tidak bisa dilihat/diawasi oleh siapapun(manusia) kecuali oleh Allah swt. Dan penyaluran sahwat biologis biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi yang tidak bisa dilihat oleh siapapun kecuali Allah Yang Maha Melihat di kala terang maupun gelap. Itulah sebabnya orang yang rajin berpuasa Senin-Kamis di samping puasa wajib bulan Ramadlan, akan lebih bisa menjaga diri (iffah) dibanding orang yang tidak atau jarang berpuasa.
-Persoalan dan Solusi

Persoalannya sekarang adalah mengapa fakta di lapangan masih banyak - bahkan semakin bertambah- terjadi perselingkuhan dan perzinahan baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi ? Hal ini kalau kita kaji lebih mendalam, maka akan kita dapati kesimpulan bahwa ternyata akibat minimnya pelaku perzinahan tersebut dalam ibadah puasa. Sebab tidak mungkin orang rajin berpuasa, tapi masih mau berbuat zina atau perselingkuhan. Bukankah puasa bisa memecahkan / mengurangi syahwat ?

Maka akar persoalan yang terjadi di masyarakat baik itu berupa penyakit korupsi (musuh KPK), maupun perzinahan (penghancur tatanan hidup berumah tangga) adalah berasal dari persoalan pemahaman dan pelaksanaan ibadah puasa. Jadi selagi masih banyak orang yang tidak memahami dan tidak melaksanakan ibadah puasa, maka penyakit masyarakat (korupsi dan prostitusi) yang menjadi momok dewasa ini akan tetap terjadi. Berapapun anggaran yang dihabiskan oleh Pemerintah untuk memberantasnya , tetap tidak akan mampu menanggulanginya dengan tuntas..


Dari kenyataan tersebut, maka lebih baik anggaran yang besar itu dibagi menjadi dua. Setengah anggaran untuk tindakan prefentif (pencegahan) secara rohani, misalnya untuk memfasilitasi orang-orang agar mudah melaksanakan ibadah puasa. Untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pelaksanaan ibadah puasa. Mendorong masyarakat terlebih para birokrat dan pejabat agar menjadi contoh teladan bagi rakyatnya dalam melaksanakan ibadah puasa Ramadlan. Mubtilat (penghancur) puasa seperti warung-warung penyaji makanan yang siap santap juga dibatasi untuk meminimalisir pelanggar-pelanggar puasa.

Dana setengahnya lagi diperuntukkan tindakan kuratif (penyembuhan). Seperti memberi sanksi (takzir) bagi pelanggar puasa bagi orang yang ber-KTP – Islam. Dan pemrosesan hukum bagi para koruptor dan pe-zina dengan tindakan nyata. Misal dengan hukuman penjara yang bisa menjadikan para pelaku benar-benar jera / kapok atas perbuatannya yang kotor. Memang itu semua membutuhkan keberanian dan dana yang cukup. Tapi insya Allah hasilnya akan bisa dirasakan oleh umat secara umum. Rakyat terlindungi dari penindasan ekonomi dan penindasan terhadap perlindungan keluarga.

Semoga kita dapat berpuasa dengan baik dan benar, sehingga memperoleh keberkahan hidup. Berkah sehat jasmani dan rohani, serta berkah rizki buat mengabdi pada Ilahi Rabbi. Dan menjadi teladan bagi setiap diri yang ingin berbenah hati di bulan suci. Wallahu a’lam bis shawab.


Read More..