"Welcome to LENTERA ISLAM" Semoga bermanfaat Happy Reading

Sabtu, 22 Agustus 2009

Ideologi Pancasila dalam Era Reformasi


Indonesia dalam perjalanannya yang panjang setelah menempuh perjalanan kemerdekaannya yang sudah mencapai usia 64 tahun, semakin banyak persoalan yang harus dihadapi. Di samping problem ekonomi yang menimpa bangsa ini, persoalan keamanan yang belum menentu terjaminnya, juga persoalan yang lebih menghawatirkan adalah persoalan Ideologi Negara.


Pancasila yang telah disepakati oleh Faunding Fathers negeri ini sebagai ideologi negara mulai mengalami getaran dan gesekan dalam cengkeraman ”Burung Garuda”. Kuku-kuku tajam burung Garuda mulai agak longgar dalam menggenggam tali buhul Pancasila. Telah banyak contoh yang bisa kita katakan di sini. Sebut saja kelalaian terhadap tegaknya nilai-nilai Pancasila yang ter-simbol-kan dalam lambang Burung Garuda atau Burung Elang Rajawali yang dimitoskan sebagai lambang perlindungan bangsa Indonesia.


Lagu-lagu kebangsaan-kepahlawanan banyak yang tidak lagi dihafal oleh anak-anak muda negeri ini. Tapi lagu-lagu cinta yang cengeng dan lebih menjurus ke arah seks lebih mudah populer dibanding lagu-lagu kebangsaan dan perjuangan tersebut. Seperti lagu Garuda Pancasila yang bernada heroik, lagu Indonesia Raya yang memupuk Sense of Belonging terhadap Indonesia dan sejenisnya tidak lagi bersarang di dada para kaum muda. Bahkan sampai acara kenegaraan pun bisa lupa dikumandangkan lagu wajib ini. Ironis ?

-Bukan sekedar Lambang

Garuda atau lebih tepatnya ”Garuda Pancasila” yang terpampang di setiap kantor-kantor baik Pemerintah maupun swasta selama ini lebih dipandang sekedar hiasan dinding. Tak ubahnya ibarat hewan-hewan Sirkus yang sudah tidak lagi mempunyai Yoni atau kekuatan magis bagi pemasangnya. Seperti kita ketahui bersama bahwa macan sirkus itu tidak galak lagi seperti ketika mereka masih ada di dalam hutan rimba. Ular yang besar sudah hilang bisa atau racunnya yang mematikan ketika dipermainkan Pawang dalam pertunjukan Sirkus. Demikian juga burung ”Garuda Pancasila” sekarang yang sepertinya tinggal tempelan dinding, tak lebih dari sekedar hiasan layaknya gambar-gambar burung lainnya.


Padahal Garuda Pancasila yang dipilih sebagai lambang negara semestinya mempunyai nilai-nilai luhur yang patut dan harus dipupuk terus menerus, tanpa terpengaruh oleh situasi apapun. Sebab nilai-nilai itu sifatnya universal dan kekal abadi. Sekedar membangkitkan kembali ingatan kita pada Pancasila dan nilai-nilainya yang mulai terpasung, maka mari bersama-sama kita simak sekilas.


Pertama : nilai historis yang tersimpan dalam tiap sayapnya ada 17 helai, pada ekor 8 helai, bulu kecil-kecil di bawah perisai ada 19 helai dan kecil-kecil di leher ada 45 helai. Ini melambangkan hari kemerdekaan Republik Indonesia (RI) terjadi pada : 17 – 8 - 1945. Dan perisai yang tergantung di leher burung Garuda Pancasila berisi lima lambang atau lima Sila sbb : Bintang bersegi lima melambangkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, Rantai melambangkan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Pohon Beringin yang rindang melambangkan Persatuan Indonesia. Kepala Banteng melambangkan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dan Padi-kapas (pangan-sandang) yang melambangkan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.


Kedua : Nilai politis yang ada pada tulisan ”Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti :berbeda-beda tetapi tetap satu. Ini adalah pengertian falsafah politik bagi ketatanegaraan Republik Indonesia yang lebih mencita-citakan Persatuan dan kesatuan bangsa. Suku boleh berbeda, ras boleh berbeda, agama boleh berbeda, tapi begitu menjadi warga negara Indonesia, maka yang ada hanyalah satu, yaitu Pancasila. Hal inilah yang jika nilai-nilainya kita pegangi dan kita perjuangkan secara terus menerus akan menjadi pemersatu bangsa ini.

-Goncangan-goncangan

Goncangan Bom yang sempat mengoyak ketenangan hidup berbangsa dan bernegara merupakan salah satu gangguan terhadap nilai-nilai Pancasila. Hal ini kalau tidak ditangani secara bersungguh-sungguh dan berhati-hati, maka bisa-bisa akan menjadi persoalan yang melebar dan menjadi bom waktu runtuhnya burung Garuda Pancasila. Karena apapun alasannya, bahwa pengeboman yang dilakukan oleh orang-orang teroris merupakan pengejawantahan dari gejolak ingin keluar dari nilai-nilai Pancasila tersebut. .


Demikian juga gerakan sparatisme yang terjadi di tapal batas atau wilayah-wilayah seperti Papua, Maluku, Aceh dll. juga menjadi hambatan pembangunan nilai-nilai Pancasila. Karena nilai-nilai Persatuan yang dibangun dalam bingkai Pancasila bisa kabur dan hilang, jika peluang sparatisme tidak ditutup. Persoalan yang sesungguhnya berasal dari asas keadilan dan kesejahteraan, bisa beralih menjadi persoalan Ideologis. Oleh karena itu tugas Pemerintah yang baru nanti, yang paling utama dan mendasar adalah mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam gerak nyata yang tertuang dalam program.

Kerukunan antar umat beragama –misalnya- tidak hanya melalui dialog saja, tapi hendaknya menjadi agenda nyata dalam kerjasama yang saling mendekatkan. Baik kerjasama ekonomi maupun kerjasama saling menjaga keamanan di setiap jengkal wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Letupan-letupan kecil yang menyulut pertengkaran antar umat beragama hendaknya diselesaikan secara politis dan ideologis. Dan melibatkan unsur-unsur terkait seperti tokoh-tokoh politik dan tokoh-tokoh agama, yang selama ini kurang dilibatkan oleh Pihak pemerintah/aparat keamanan.


Pembinaan budaya antar suku yang akhir-akhir ini kurang terpelihara dengan baik juga bisa menjadi salah satu pemicu kurangnya rasa nasionalisme. Sebab suku-suku yang bernaung di bawah burung Garuda Pancasila akan merasa bangga jika dihargai eksistensinya. Seperti suku Betawi -misalnya- yang dinilai (sekurang-kurangnya dalam film ) mulai terpinggirkan baik secara geografis maupun secara ekonomis, semakin lama akan semakin merasa tertindas di negerinya sendiri. Hal seperti ini hendaknya secepatnya memperoleh perhatian Pemerintah yang lebih serius, sebelum menjadi ledakan emosional seperti suku Kurdi di belahan negeri lain. Dan suku-suku lainnya yang menanti perhatian dari Pemerintah Pusat, terutama di wilayah-wilayah terluar yang berdekatan dengan negara lain.


Gejolak para teroris, gangguan kaum sparatis dan gangguan-gangguan lainnya tidak akan menjadi kekuatan yang menggangu Ideologi Pancasila, manakala kita semua mengajak kembali kepada buku pedoman berbangsa dan bernegara (RI), yaitu Pancasila. Karena Pancasila ibarat Kitab Sucinya umat beragama. Kitab yang menjadikan bangsa ini bersatu berdaulat dan kokoh dalam wadah NKRI. Kokoh dalam arti mampu membangun negerinya sendiri (berdikari) dan kokoh menghadapi gangguan asing. Semoga Pancasila masih tetap bersarang di dalam sanubari kita semua.

Read More..

Senin, 03 Agustus 2009

Panggil Aku si Jawa

“kamu harus ulet, kalau tidak ulet kamu bukan jawa”, begitu nasihat si Embah yang sering dismpaikan kalau lagi malas beljar. “kamu harus rajin, kalau tidak belajar kalau tidak belajar kamu bukan jawa”. Kalau lagi jika memarahi anak dan cucunya. Hinga aku ingat betul kalau simbah ngomong sambil teembakau nyelip di giginya.

Postur simbah yang agak gemuk membuatnya awet muda. Walau mbah kangkung (kakek)sudah lama meningal,tapi si mbah putri tetap sabar merawat anak-anaknya hinga dewasa. Bahkan lima anak datujuh anaknya sudah menjadi orang-orang yang mandiri dan terpandang. Raut wajahnya yang selalu bersinarseri menjirat wajah keibuan yang penuh tanggun jawab. Sebentar-sebentar bergerak,berdiri dan berjalan. Dan tidak jarang turut menyapu dan beres-beres perabotan rumah yang kurang pada tempatnya. Padahal usianya sudah delapan puluhan atau lebih.

”orang jawa itu pantang menyerah,”kata siembah seatu saat,”mbah kangkung tudak mengenal leah,” lanjutnya. ”Pagi hinga siang sibuk mengurus sawah, tetpi tapi malam harinya ikut bergerliya bersama tentara rakyak melawan penjajah.
Menurut simbah, bahwa embah kangkung itu potret manusia jawa asli. Selain ciri-cirinya yang kekar, agak ketihitaman kulitnya. Tidak trlalu tampan,tetapi juga tidak jelek. Juga ciri-ciri yang wataknya yang sabar dan bersahaja. Sabar menjalani roda kehidupan. Hinga suatu saat terjadi paceklik, kalau istilah sekarang krismon,mahal beras,mahal pakaian dan semuanya serba mahal. Si embah kakung bilang: ”hidup itu harus seoerti air.”Fisolofi air itu yang prtama selalu mengalir ketempet rendah merendah (murah hati). Kedua,air itu patang menyerah. Ringtan apapun harus dilawan. Batu sebesar apapun bisa diterjang oleh air. Ktiga,air itu mencari temanya.mengunpal sesama air. Bersatu meng hadapi segala hambatan,kalau toh batu itu tidak hangat ,ya harus lewt celah-celahnya.yang penting air bisa berjalan bersama-sama.

Maka tidak aneh kalau simbah putri yang single parent itu tetap bisa berhasil menghartakan anak-anknya hing sukses. Padahal kalau dihitung-hitung dari segi harta tidak mungkin membiyayai anak-anaknya sampai ke peguruan tingi.apa lagi sampai S2atau S3. tapi mungkin berkat fisolofi jawayang dipengangi si mbah, mereka patuh pada orang tua,rajin belajar,rajin bekerja rajin dan ta’at beragama. Tidak diantara anak-anknya yang bandel.
# # #
Ketika aku di sekolah aku sering mendapat oelakuan yang kurang baik. Teman-temanku lebih sering memangil aku ”SI JAWA” dari pada nama asliku Ramadan, aku diberi nama Ramdan oleh orang tuaku, karena aku lahir tepat lahir dibulan Ramadhan. Memang begitulah kebiasan orang-orang jawa zaman dulu memberi nama anak-anaknya mengikuti situasi. Misalnya kalau bulan juli,ya diberi nama juli. Jika lahir dalam keadaan susah,diberi nama prihatin. Dan begitulah keadan yang terjadi. Tidak seoerti sekarang, kebanyakan ank-naknya diberi nama mirp artis idola orang tuanya.

Walaupun teman-temanku tahu namaku Ramadan, tapi lebih banyak memangil ku sijawa,dari pada ramadan. Suatu hari aku bertanding voly ball,teman-temanku menyorki aku :”jawa,jawa,jawa”. Bahkan pak stpam ikut memangil ku ”si Jawa”.”harusnya sorakn itu membuatku semakin semangat bertanding tapi pada sa’at itu. Sorakan mereka justru membuatku jatuh lemas dan tak bersemangat. Hampir saja aku keluar dari pertandingan. Ngmuk dan menojoki stu persatu temanku. Sebaba mereka itu mengolok–olok aku . bahkan menyajungku. Pada awal nya aku dongkol dan kesl jika dipangil si jawa.sakit sekali hatiku,jika mereka menmangilku sijawa. Namun lama-lama aku bisa menerimanya,wlau agk terpaksa.
Kenapa aku bisa menerima pangilan trsebut? padahal semula aku benci, sebab ketika aku teringat nasehat simbah putri yang mengatakan ”orang jawa itu ulet ”. Orang jawa itu rajin, dan sebagian lainya ”. Maka aku berbalik seratus delapan puluh derejat. Tadinya marah jika dengan kata jawa ,kini bangga dan senag. Panggilan itu justru mampu membakar semangatku. Semangt belajar dan semangat berkerja .
”Akan aku berikan bahwa kepada meraka Si Jawa itu tidak hjelek,”bisik hatiku suatu sa’at.”aku harus menujukan pada dunia, bahwa aku bisa.”begitulah terus menerus pikiran ku terpenuhi oleh byangan wajah simbah yang penuh dedikasi ternadap keluarga dan juga terhadap bangsanya. Si mbah memang benar, bahwa keberhasilan tidak bisa dengan santai-santai. Tuhan juga tidak akan merubah nasib sekarang, jika orang itu tidak mau merobahnya.
# # #
Pada akhirnya,seuatu hari aku dinyatakan sebagai juara satu olimpiade fisika tingkat nasional. Semua guru-guru menyalamiku,demikian juga teman-temanku. Semua menyalami dan mengucapkan selamat. Semua bersorak sorai memberikan aplus kepadaku. Mereka banga dan girang kalau ada temanya yang sukses sampai tingkat nasional. Apa lagi kesuksesan itu membawa nama baik sekolah dan teman-temanku.
Wah hasil kejuaraan yang digelar berbulan-bulan mulai tingkat kota sampai porvinsi dan nasional, selalu diliput oleh berbagi media masa cetak mupun elektronik.tentunya mendrokat nama baik sekolah,yang akhir-akhir ini sudah banyak anak-anak sekolah yang tawuran, kasus narkoba,geng-gengan dan berbagai kenakalan remaja lainya.
Tapi sebaliknya,disat-saat mereka bergembira-ria jusru semakin sedih, tak ter bendung air mataku lagi. Karena aku teringat simbah. ”Seandainya saja si mbah meliohat cucunya berhadil tentu dia senag dan bahagia.” begitu hatiku berbisik.

Sewaktu menjelang keberangkatan ke tanah suci mekah, untuk dihajikan oleh oleh anak-ankanya simbah sempat berpesan kepadaku lagi ,”kamu bukan jawa,kalau tidak pintar.” mungkin maksud simbah mungkin menghibur aku. Wajah tidak ganteng, harta tidak banyak. Lalu tidak apa dapat dibagakan. Hanya dengan ilmu dan kerja keras yang bisa mentupi kekuanganku.
Barang kali air mataku dan do’a dibalik kesukseskan ku dalam kejuaraan olimpiade fisika itulah yang bisa kupersembahkan buat simbah.” semoga nasihatmu menjadi jariah disisi tuhan yang meyngimu”.do’aku pelan ditengah keramaian teman-temanku yang lagi asik menyanjungku.
Read More..