"Welcome to LENTERA ISLAM" Semoga bermanfaat Happy Reading

Senin, 13 April 2009

Dosenku Killer

Malam itu sepulang kuliah semuanya bertangisan. Juga aku tak kuasa menahan air mata. Entah berapa banyak tissue yang aku lempar ke keranjang sampah. Rumah kos yang biasanya ramai dengan canda-tawa mahasiswa dan hilir mudik cewek-cewek kuliahan, kini terlihat sepi. Lampu-lampu neon yang menerangi sekitar taman Rumah Kos seakan tak berarti. Apa lagi langit tak menampakkan sinar terangnya sedikitpun. Awan mendung yang menggelantung sepertinya akan menjatuhkan air dengan derasnya.

“Kalian makan dulu!”, kata ibu kos sambil mundar-mandir mempersiapkan makan malam. ”Ini loh makannya sudah siap,”lanjutnya. ”Ada pepes jamur, kesukaan kalian,”kata Ibu Kos setengah merayu. Tapi tidak seorang pun yang bergegas nyamperi meja makan. Tidak seperti biasanya. Belum selesai Ibu Kos menata makanan di meja sudah diserbu. Maklum sepulang kuliah perut-perut sudah lapar. Apa lagi musim hujan, jika di kampus, ingin cepat-cepat berlari menyantap makanan.

Begitu selesai menata makanan, Ibu Kos menanti kedatangan para mahasiswa. ”Ada apa sih, kok pada gak datang ke meja makan,” bisik ibu Kos lirih, sambil berjalan menuju kamarku. Di mana teman-teman sedang berkumpul seperti halaqah atau diskusi, semua duduk di atas kasur, saling menatap satu sama lain.

Tiba-tiba Ibu Kos muncul di pintu kamar. ”Rahwat !”, panggilnya. ”Ayo makan, entar keburu dingin loh makannya,” sambil memandangiku yang sedang tertunduk lesu dengan teman-teman sekamar. Di kamarku sebenarnya hanya berempat. tapi malam itu teman-teman kamar sebelah pada datang, ngumpul saling curhat.

“Ada apa sih, kalian?. Kok nggak buru-buru makan?,” tanya Ibu Kos agak penasaran.

“Nggak kok bu, nggak ada apa-apa,” kataku menutupi kesedihanku. Aku berusaha tersenyum walaupun hati terasa teriris-iris.

”Itu Bu, gara-gara Si Dosen Killer,” kata Wardah setengah sewot.

”Emang kenapa Pak Dosen?”, tanya Ibu Kos.

“Masa kami semua dapat nilai C, Bu”, timpal heti.

”Ya Bu”, kata Wardah menimpali.

”Itu Pak Dosen Killer, tidak menghargai belajar kami. Empat bulan kami berlajar”, sambungnya. ”Tapi giliran ulangan, nilainya C semua. itu kan jatuh banget.”

Bukan nilai C-nya yang aku sesali, tapi seakan usahaku dan teman-teman selama ini sia-sia. Belajar siang-malam tak membuahkan hasil. Apalagi setiap ujian lembar koreksiannya tak pernah dibagikan lagi kepada mahasiswa. Tahu-tahu nilai sudah ditempel di papan pengumuman.sehingga aku curiga, jangan-jangan lembar jawaban itu tak pernah dikoreksi oleh Pak Dosen.

Jadi, mungkin kalau hatinya senang, dia beri nilai baik. Kalau hatinya lagi nggak enak, memberi nilai kepada mahasiswa jelek-jelek. Jadi ya nilai itu seenaknya saja. Suka-suka, tergantung hatinya. Tidak lagi berstandar, apalagi rasional.

***

Seminggu kemudian aku dan teman-teman iseng-iseng berusaha mencari tahu, kenapa nilai anak-anak sekelas jeblok semua. Kebetulan kuliah sudah libur, aku dan

teman-teman mencoba datang ke rumah Pak dosen. Ternyata sulitnya minta ampun mencari tempat tinggal Pak Dosen Killer itu. Alamatnya jelas, RT dan RW-nya jelas, nomor rumahnya pun jelas. Tapi tidak banyak warga yang tahu di mana rumah Pak Dosen itu tinggal.

Setelah pencarian yang memakan waktu berhari-hari, akhirnya ketemu juga. Ternyata tinggal di gang kecil. Tepat di belakang gedung tinggi, di rumah kontrakan berlantai dua. Dan Pak Dosen itu tinggal di lantai atas. Tetangga kanan – kirinya tidak banyak yang tahu dengan kehidupan Pak Dosen. Mereka hanya tahu bahwa rumah itu ditempati oleh seorang laki-laki setengah tua yang tidak berkeluarga. Hidup sendirian, tanpa istri, tanpa anak dan tanpa pembantu. Hanya sesekali ada orang yang datang mengecat pagar atu tembok rumah.

Kebetulan pagi itu Pak Dosen lagi duduk-duduk di kursi putih yang ada di teras rumahnya. Memakai kaos oblong putih bercelana hitam. Rupanya baru saja selesai mencuci mobil coklatnya yang biasa dipakai ke kampus.

”Selamt pagi Pak ”, kataku serempak dengan teman-teman ketika membuka pintu pagar besi yang pendek sekitar satu meter.

”Pagi”, jawabnya singkat. Lalu aku dipersilakan duduk, dan Pak Dosen buru-buru masuk rumah ganti baju. Keluar-keluar sudah pakai baju hem biru warna kesukaanya.

”Ada apa ini, kok pagi-pagi sudah datang?”, tanya Pak Dosen setengah kaget.

”Nggak, kebetulan liburan, kami jalan-jalan aja ingin tahu rumah Pak Dosen,” kata Rahwat.

Setelah ngobrol sana-sini Pak Dosen pamit bergegas pergi, karena ada telepon dari seseorang. Nampaknya dia sangat sibuk, sekalipun hari itu libur. Sehingga akupun terpaksa minta pamit, walau niatku belum tercapai.yaitu ingin tahu alasan jebloknya nilai mata kuliah Penelitian yang diajar oleh Pak Dosen killer ini. Dengan langkah gontai aku meningalkan rumah Pak Dosen bersama teman-teman yang senasib.

***

Sebulan kemudian di kampus gempar.terdengar berita tak mengenakkan. Yaitu kabar meningalnya Pak Dosen Killer. Di seantero kampus, membicarakan kematian Dosen itu. Di kantin, di halte dan di sudut-sudut taman para mahasiswa sibuk berbicang tentang meninggalnya sang Dosen killer. Ada yang sedih dan ada yang tampak senang. Terutama anak-anak mahasiswa yang merasa dijatuhkan nilainya oleh Dosen tersebut.

Pasalnya berita kematian tersebut tidak sewajarnya. Issue yang beredar, Pak Dosen sudah lama tidak datang mengajar di kampus. Menurut pihak sekretariat akademik, telepon Pak Dosen tidak bisa dihubungi. Jadi pihak kampus kehilangan kontak dan putus komunikasi.

Akhirnya waktu itu bagian Rektorat mengutus salah seorang petugas untuk mengecek keberadaan Pak Dosen di rumahnya. Barulah petugas kampus tersebut mengetahui kalau Pak Dosen sudah meninggal tiga hari yang lalu.

”Waktu itu, masyarakat sekitar rumah Pak Dosen dibuat geger,” kata petugas kampus. Sebab mereka tahu kalau Pak Dosen meninggal, setelah tercium bahu busuk yang sangat menyengat datang dari rumah Pak Dosen.

Dan Pak Dosen meniggal tanpa diketahui oleh seorang wargapun. Tidak tahu sakit apa, kalu dia sakit. Juga tidak tahu apakah dia meninggal secara wajar atau tidak. Namun secara kasat mata, tak ada tanda-tanda penganiayaan sedikitpun.

Hanya saja menjadi aneh, mengapa seorang intelek dan berilmu tinggi , tetapi meniggal tanpa diketahui oleh masyarakat. Apakah karena terlalu sibuk, sehinga pergi pagi pulang petang ? Dan tak sempat kenal dengan warga sekitar tempat tinggalnya?” Atau karena kehidupan masyarakat kota besar seperti jakarta ini memang sudah demikian individuialisnya,?” pikiranku terus mereka-reka. Aku dan teman-teman tidak henti-hentinya baca istighfar. Membayangkan diriku yang kelak hidup di kota besar juga.

Akhirnya, untung Pak Ustadz membuka pikiranku. Ketika halaqah di masjid kampus, dia bilang: ”Orang itu ditentukan oleh temannya .”Artinya, jika berteman dengan orang baik, maka akan memperoleh kebaikanya. Dan jika berteman orang jahat, akan terimbas jahatnya. Kalau tidak berterman, maka tak ada orang yang menolong nya walau ia butuh pertolongan.

”Kini kematian Pak Dosen Killer itu telah meninggalkan pelajaran berharga,” kata Rahwat di sela obrolannya di kantin. Ganasnya kota besar ternyata mampu melumpuhkan kekuatan intelektualitas yang tidak dibarengi dengan terangnya pelita nurani. Sehingga hidup menjadi egois dan individualis. Dan tak berdaya melawan kepongahan tatanan sosial yang serba materialistis. ”Selamat jalan Pak Dosen Killer! Semoga lakonmu membuka kunci nurani nan beku!”, begitu kira-kira kalau ditulis dalam papan nisan atau bunga ucapan duka cita di pusaranya.

Read More..