"Welcome to LENTERA ISLAM" Semoga bermanfaat Happy Reading

Selasa, 30 Juni 2009

Bunga Edelweis

Barang-barang kiriman sudah dinaikkan di atas truk. Sebentar lagi akan berangkat menuju pelabuhan Tanjung Priok, selanjutnya akan diangkut kapal Rinjani menuju pulau Ambai. Mulai dari selimut tebal, baju anak-anak dan kebutuhan sehari-hari yang di butuhkan oleh para pengungsi kerusuhan. Sebagian relawan ada yang naik truk bersama barang-barang kiriman, sebagian yang lain naik mobil-mobil carteran yang telah disewa oleh panitia.

Siang itu terik matahari menyengat sekali, serasa matahari tepat di atas kepala. Sampai akupun beberapa kali kehabisan tissue untuk menyeka keringat yang bercucuran di wajahku. Aku melihat Bang Toriq bersama tim relawan lainya .penuh semangat mempersiapkan barang-barang apa saja yang akan dibawa pergi. Tidak ketinggalan aku pun turut sibuk mepersiapkanya. Hanya saja aku dan teman-teman wanita semua tidak ikut mengurusi barang-barang berat. Cuma di bagian administrasinya saja dan penggalangan dana.

“Wati, kamu ambilkan kameraku di kantor sekretariat.” kata Bang Toriq sambil membuka-buka tas ransel yang dari tadi digemblokkan di badannya. Aku pun segera meluncur dengan motorku ke sekretariat untuk mengambil kamera yang dimaksud. Ternyata kamera itu sudah dibawa oleh Erna sepuluh menit yang lalu, kata penjaga kantor. Akupun tidak lama pergi lagi ke pelabuhan. Dan Erna sudah ada di pinggir pelabuhan bersama teman-teman akhawat lainya melambai-lambaikan tangannya.
Aku tidak sempat melihat Bang Toriq bersama teman-teman relawan ketika meninggalkan pelabuhan. Hanya bisa melihat dari kejauhan, kalau-kalau yang melambaikan tangan sambil membuka topi merah-hijaunya itu adalah Bang Toriq. “Selamat jalan, Bang Toriq.” kataku lirih. Tanpa disadari air mataku sudah membasahi pipi dan beberapa kali Erna sahabat karibku mengelap pipiku dengan sapu tangannya.
“Ikhlaskan, wati,” tutur Erna di sampingku.
”Ikhlaskan Bang Toriq dan teman-teman semua menuju medan juang,” lanjut Erna menasihatiku.

Tanpa jawaban sepatah katapun yang bisa aku ucapkan selain anggukan kepala yang diiringi dengan isak tangisku. Tak kuasa aku menahan tangis, bukan karena semata aku berpisah dengan Bang Toriq. Tapi aku tidak bisa ikut serta dalam medan juang yang menjanjikan pahala dan keuntungan akhirat yang luar biasa.
Aku ingat nasehat para pembimbingku selama ini di dalam setiap liqa’ : ”Hiduplah dengan mulia atau matilah dengan mati syahid.” Oleh sebab itu hidup adalah perjuangan. Berjuang untuk hidup yang bermartabat. Agar mulia di hadapan Tuhan dan terhormat di hadapan manusia. Apabila terpaksa ajal menjemput, kita pun siap. Sebab Tuhan telah menjanjikan kebahagiaan dan keindahan surgawi. Di dunia bergaul dengan orang yang baik dan di akhirat-pun dikumpulkan dengan para kekasih Tuhan: Anbiya’, Auliya’ dan para Syuhada’.

“Betapa bahagianya, jika aku bisa turut serta dalam rombongan para pejuang itu.” bisikku dalam hati. Tapi itulah keterbatasan sebagai seorang wanita. Tidak bisa ikut terjun langsung ke medan juang. Untungnya sahabatku Erna terus menerus mendanpingiku. ”wati,!” katanya.
”Ya, apa?”, sautku singkat. ”Berjuang itu ada porsi dan tugas masing-masing, tidak harus sama antara laki-laki dan perempuan,” lanjutnya.
“Yang penting kita terus berdo’a untuk keselamatan mereka.” kata Erna seperti suara orang tua yang sedang menasehati anaknya. Aneh, memang; padahal selama ini Erna adalah termasuk salah satu akhawat yang suka ngablak. Ngomong ceplas-ceplos seperti anak remaja gaul pada umumnya. Tapi kali ini bersikap sepeti orang dewasa. Barang kali baru saja dia mendapat hidayah. Persis seperti ustadzah, omongannya setiap kata yang keluar dari mulutnya mengandung hikmah. Sehingga kata-katanya sejuk aku dengar, terasa adem menghunjam ke dalam hatiku, bak disiram air dari kulkas.
###
Sambil menelusuri jalan raya yang padat dengan kendaraan roda dua dan roda empat dari pelabuhan Tanjung Priok, aku masih terlibat obrolan tentang teman-teman relawan yang baru saja berangkat.
”Oh ya, wati, ini ada titipan dari Bang Toriq”, tiba-tiba saja Erna menyodorkan bungkusan kertas warna krem. Tidak sabar lagi menunggu di rumah, bungkusan itupun lalu kubuka. Betapa kagetnya aku, ternyata di dalam bungkusan tersebut terdapat setangkai bunga Edelwis dan selembar surat. Tapi sayang bunga tersebut sudah tidak utuh lagi .
”Ma’af ya, Wati.” kata Erna setelah melihat bunga titipan Bang Toriq telah hancur. ”Saya tidak tahu kalau isinya bunga Edelwis. Mungkin terjepit di dalam tasku tadi,” lanjutnya. ”Ya, tidak apa-apa,” jawabku menghibur. Walaupun hatiku terasa agak kecewa ketika melihat bunga yang sudah agak remuk itu. Dan untung di dalam secarik kertas itu terdapat tulisan tangan Bang Toriq yang bisa menghibur hatiku. Mengurangi luka hatiku karena rontoknya bunga Edelwis.
”Watiku sayang, kukirim bunga edelwis ini untukmu.” kalimat pembukanya yang membuat jantungku berdebar. ”Bunga ini kubawa dari gunung Tengger, Jawa Timur, sewaktu aku ikut latihan relawan di sana,” lanjut tulisan itu. ”Edelwis adalah lambang cinta sejati, kata orang–orang di sana. Walaupun seperti mati, tapi ia tetap hidup.” ”Demikian juga cintaku padamu. Sekalipun kita berpisah sacara ragawi, tapi takkan ada kata berpisah secara nurani. Rinduku tak kan pernah pudar layaknya bunga edelwis ini.” Begitulah bunyi tulisan Bang Toriq yang sempat kubaca di atas kendaraan sepulang dari pelabuhan.

Dan sesampainya di rumah, bunga itu aku rawat dan aku tata kembali. Sedikit-demi sedikit aku sambung dengan lem, sehinga rekat dan utuh kembali. Sekalipun agak kesulitan, tapi akhirnya aku bisa merangkai kembali dan tegar seperti aslinya. Setiap hari aku semprot dengan parfum yang harum, sampai-sampai melebihi harumnya bunga aslinya ketika di tempat tumbuhnya. Kadang di malam haripun masih sempat kuciumi jika usai belajar. Bunga itu kusimpan di meja belajarku dekat lampu yang biasa menerangiku, jika aku sedang belajar atau menyelesaikan tugas-tugas organisasi.
Sementara secarik kertas yang mengiringi bunga edelwis itu aku laminating dan aku bingkai warna coklat muda serasi dengan warna bunganya. Kuletakkan berdampingan dengan bunga yang setiap sa’at aku memandangi bunga itu sekaligus terbaca tulisan Bang Toriq.
# # #
Semingu kemudian aku tunggu-tunggu kabar dari Bang Toriq, ternyata belum datang. Dua minggu berikutnya juga belum dapat berita sama sekali. Hanya sesekali ada berita di televisi dan surat kabar nasional yang memberitakan Pulau Ambai rusuh. Melalui berita - berita media massa itulah aku memperoleh berita sepintas tentang pulau Ambai. Tapi selalu beritanya - dikatakan oleh pejabat yang berwenang :”Situasinya aman dan terkendali”.
Namun aku tetap saja was-was. Sebab sudah menjadi rahasia umum bahwa berita-berita di media massa sering tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Bahkan ada anekdot, “Kalau baca berita Koran, maka bacalah terbalik.” Maksudnya :kalau dikatakan aman, berati tidak aman. Kalu dikatakan tidak ada warga gizi buruk, berarti ada gizi buruk. Dan begitu seterusnya.
Baru setelah sebulan kemudian aku dapat berita bahwa Bang Toriq termasuk salah satu korban kerusuhan Malam Idul Fitri. Di mana tragedi bakar-bakaran rumah terjadi bukan hanya di kota saja, tetapi juga di kampung-kampung. Termasuk kampung Harukau. pusat markas relawan Anti Hura-Hura yang dipimpin oleh Bang Toriq.
“Syuhada’ yang gugur ada lima orang ,” kata ustadz Sarqon ketika berbicara di aula kantor relawan. ”Termasuk Bang Toriq yang waktu itu jenazahnya sempat di solatkan di sebuah Surau terdekat .” Ustadz Sarqon memberi penjelasan panjang lebar tentang tragedi tersebut, yang menurutnya dengan cepat dapat dikendalikan oleh pihak berwajib.
Semua yang hadir menundukkan kepala, pucat dan lesu. Bahkan Erna sahabatku menangis sampai pundaknya terguncang. Sesekali memadangiku sambil sesenggukan menghabiskan air matanya. Mungkin dia juga heran melihatku. Mengapa aku tidak tampak sedih, bahkan terseyum. Memang aku terseyum. Karena air mataku sudah terkuras habis setiap tahajud malam, sambil bermohon kepada Allah. Dalam do’aku yang selalu kupanjatkan : ”Yaa Allah, selamatkan para relawan-Mu. Para pembela-Mu” .”Termasuk Bang Toriq, jika memang harus Engkau panggil, maka tempatkanlah di tempat yang mulia di sisi-Mu.”

Benar juga, akhirnya do’aku dikabulkan oleh-Nya. Kini Bang Toriq menjadi syuhada’ yang insya Allah terseyum di depan malaikat Ridlwan yang menyapanya dengan ramah. Dan bunga edelwis yang pernah retak itu mungkin isyarat akan kepergiannya menghadap Sang Kholiq untuk selama-lamanya. ”Selamat jalan Bang Toriq,” ucapku pelan sesa’at usai mendengarkan kabar dan tausiyah dari ustadz Sarqon. ”Perjuanganmu tak kan sia-sia.Tuhan Maha Mengetahui terhadap perbuatan hamba-Nya, mana yang baik dan mana yang buruk. ”Selamat menikmati hasil perjuanganmu. Kau
memang layak menjadi kekasih Sang Maha Kasih ”, ucapku pelan hingga tak terdengar oleh semut sekalipun.
***

Read More..

Selasa, 16 Juni 2009

Lampu Kristal

Hari itu Kamis malam Jum’at. Ya aku ingat betul hari itu tepatnya Kamis malam Jum’at Kliwon. Seperti adat kebiasaan orang kampungku, di setiap malam Jum’at Kliwon mengadakan ritual khusus. Tidak seperti malam-malam Jum’at lainya. Kalau malam Jum’at biasa, para jama’ah hanya membaca surat Yasin dan Tahlil atau Ma’tsurat sehabis shalat Maghrib. Tapi kalau malam Jum’at Kliwon, suasana masjid sangat berbeda. Terasa sangat sakral dan mistis. Dari Ashar sudah ada yang berdatangan di Masjid. Ada yang membaca Al-Qur’an, ada yang membaca kalimat-kalimat toyyibah, tasbih. Dan ada juga yang sekedar duduk-duduk di depan masjid ngobrol sana-sini.

Matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat. Jama’ah semakin banyak saja. Mereka memadati jalan-jalan kampung berbondong-bondong menuju masjid. Setiap orang laki-laki dewasa membawa makanan, ada yang di baskom, nampan, nyiru, dll. Beragam makanan dibawa ke masjid. Mulai dari nasi pecel, tahu-tempe, nasi ambeng padat sayur lodeh dan lauk ikan bandeng, sampai ada pula tumpeng lengkap dengan ayam wungkul (utuh) dengan bumbu gule atau kare.

Sesampai di masjid makanan itu dikumpulkan terlebih dahulu di rumah Tuan Guru untuk dihitung dan diatur. Kemudian usai acara ritual di masjid, makanan tersebut dibawa masuk ke dalam masjid bagian depan yang disebut jerambah. Mereka berjajar dan berbanjar seperti barisan tanaman singkong. Sambil duduk bersila saling berhadap-hadapan, menghadap makanan yang dibawa oleh para jama’ah. Mereka saling tukar, ada yang tadinya membawa nasi uduk, dapat nasi tumpeng. Ada yang membawa ambengan, dapat nasi pecel.


”Silakan dibuka !”, kata Pak Ustadz Asnih yang setiap acara selalu bertindak aktif. Kebetulan dia juga pengurus masjid bagian peribadatan. ”Jangan langsung pulang, sebelum dimakan ambengnya.” katanya lagi. Dan orang-orang tua dan muda sibuk masing-masing menyerbu santapan yang sudah tersedia di hadapannya. Tapi ada juga yang hanya mencicipi sedikit, lalu nasi itu dibagi sesuai dengan jumlah peserta yang duduk di depan makanan tersebut. Lalu dibungkus dengan daun pisang yang memang semua makanan diserapi dan ditutup dengan daun pisang. Maklum di kampungku lebih mudah mencari daun pisang dari pada mencari kertas pembungkus.


Mereka pulang dengan hati berbunga-bunga sambil membawa bungkusan nasi yang dibawa dari masjid. Sesampainya di rumah, makanan itu diserahkan kepada istri dan anak-anak perempuan mereka untuk disantap bersama. Sebab anak-anak perempuan mereka tidak ikut ke masjid, semuanya menunggu di rumah. Aku tidak tahu dengan pasti apakah ritual berjama’ah di masjid memang hanya untuk kaum laki-laki saja. Aku juga tidak tahu apakah hal itu memang mengikuti ajaran agama, atau hanya sekedar tradisi. Yang aku tahu sejak kecil hingga sekarang, memang tidak ada kaum hawa di kampungku yang turut serta berjama’ah di masjid. Sehingga masjid itu selalu penuh hanya dengan kaum pria saja.

***

Suatu hari masjid Tuan Guru dipasang lampu kristal yang sangat terang. Indahnya menghiasi masjid yang semakin megah dan mentereng. Dari kejauhan masjid itu terlihat seperti istana. Dari celah kaca-kaca jendela dan kaca atas dekat atap tampak menyorotkan sinar putih kemerah-merahan. Sampai-sampai ada yang berkomentar : ”kaya lampu surga saja”.

Tepat di hari Milad Tuan Guru yang ke-tujuh puluh dirayakan sangat meriah. Selain dihadiri oleh jama’ah sekampung, juga ada pejabat tingginya. Bahkan berhembus kabar kalau lampu kristal yang ada di masjid itu pemberian dari seorang pejabat tinggi yang sedang mencalonkan diri menjadi orang nomor satu di negri ini.

”Mari kita berdo’a bersama untuk tamu kita hari ini, yang mulia Bapak Juhari yang mencalonkan diri sebagai presiden.” Ajak Tuan Guru kepada para jama’ah. Lantas do’a-pun dipanjatkan dan diamini oleh seluruh jama’ah yang hadir. Tidak terkecuali aku pun ikut serta berdo’a. Hanya saja dalam benakku berkata :”mengapa Tuan Guru mau mendo’akan Pak Juhari yang mencalonkan presiden .” Batinku terasa berkecamuk di tengah-tengah berdo’a yang dipimpin Tuan Guru yang selama ini terkenal sangat alim dan wa’ra. Pertanyan yang semakin tak terjawb adalah: ”apa Tuan Guru tidak lagi melihat sesuatu dengan ilmunya yang objektif ?”

Bukanlah Pak Juhari selama ini dikenal orang yang banyak noda hitamnya di tengah-tengah masyarakat. Dia terkenal kaya-raya, tapi juga sejalan dengan itu terkenal Pula pelitnya. Sebagai aghniya’ muslim yang sudah masuk taraf muzakki, namun belum pernah terdengar berzakat. Hanya terdengar menyumbang masjid atau bencana alam, yang semua itu bersifat karitatif. Yang disumbangkan tidak sebanding dengan kekayaan yang dimilikinya. Belum lagi beberapa jeratan hukum yang terlkait dengan kelakuannya, baik korupsi maupun nakalnya terhadap orang kecil maupun perempuan.

Tuan Guru terus menerus berbicara menasehati para jama’ah. Isinya tentang hidup zuhud atu menjauhi dunia. ”Hidup itu jangan terlalu memanjakan diri dengan bergelimang harta,” katanya. Sebab harta yang melimpah bisa menyebabkan tumpulnya hati. Apa lagi kelak di padang mahsyar, akan menghambat perjalanan menuju surga. Begitu salah satu isi nasihat Tuan Guru.

Aku lihat orang-orang banyak yang manggut-manggut, petanda setuju. Tapi Pak Sutrisno yang duduk di sampingku dari tadi terlihat bengong saja. Tidak menunduk sedikitpun. Matanya mengarah tajam kepada Tuan Guru. Tiba-tiba dia bicara sambil menengok kepadaku: ”Aku tidak percaya lagi dengan Tuan Guru.” ”Masak orang lain disuruh hidup miskin, sementara dia semakin menumpuk kekayaan .” katanya nerocos dan tampak kurang sopan.

”Karuan aku ini kan sudah miskin dari dulu,” kata Pak Sutrisno yang nampak mulai ada penetangan kepada Tuan Guru. Pada hal selama ini aku tahu Pak Sutrisno itu adalah termasuk jama’ah yang paling rajin dan setia menghadiri acara kemasjidan. Sangat jauh berbeda dengn aku yang sering bolos tidak hadir ngaji karena sibuk kerja. Maklum kerjaku juah di kota.

Sepulang dari masjid ternyata banyak orang-orang yang berkata mirip ucapan Pak Sutrisno di masjid tadi. Bahkan ada yang lebih keras setengah mengejek dan profokatif. ”Tidak pantas lagi Tuan Guru berbicara seperti itu ,” kata mereka sambil berjalan menuju rumah masing-masing. Dan tidak itu saja, bahkan ada yang mengancam keluar dari pengajian Tuan Guru. Alasan mereka ; ”Tuan Guru sudah terkontaminasi dengan kehidupan glamour.”

Ada yang beranggapan kalau Tuan Guru sekarang sudah terlalu banyak menerima upeti dari pejabat atau calon pejabat. Sehinga hartanya melimpah, bergaya borjuis mirip pejabat. Dan sesekali dalam acara-acara zikir bersama yang semestinya bermunajat hanya kepada Tuhan, tapi diselipi dengan promosi-promosi dukungan para calon penguasa. ”Kalau orang yang didukungnya itu baik sih ngak apa-apa,” kata Pak Sutrisno sewaktu di masjid.

***

Kini semakin hari semakin berkurang yang datang ke masjid Tuan Guru. Kalau toh ada yang datang, tidak sampai setengah masjid. Paling banter hanya di sepuluh baris pertama. Selebihnya kosong tak terisi jama’ah.

Sebagian orang-orang ada yang tidak lagi beribadah sepeti dulu, sebagian ada yang pindah ke tempat lain. Dan yang lebih parah lagi malah ada yang setiap malam hanya menghabiskan waktunya di Pos Ronda atau di taman-taman tengah kampung. Mereka main kartu remi/domino, catur dan lain-lainya. Sementara para remaja hanya main gitar, main tabuh-tabuhan lain sambil teriak-teriak menyanyi tak tahu ujung pangkalnya.

Lebih tragis lagi sandal di depan masjid sering hilang, bahkan tidak sedikit motor yang hilang tanpa bisa diketemukan malingnya. Sekarang masjid dikelilingi oleh orang-oran yang lupa ibadah.


”Kini malam Jum’at, tidak sakral lagi,” kata Ustadz Asnih yang mengeluhkan kekosongan masjid. Tiba-tiba Tuan Guru muncul melewati Pos Kamling penuh dengan orang-orang yang sedang main kartu sambil mabuk-mabukan. Dan seperti biasanya Tuan Guru tidak bisa diam kalau melihat kemungkaran .

Kontan Tuan Guru menegur, ”Bubar-bubar, sudah malam ,” katanya kepada orang-orang yang sedang asyik-masyuk di Pos tersebut. Bukannya mendapat respon yang baik, tapi justru balasan yang sangat tidak wajar. Mereka mengamuk memukuli Tuan Guru sambil mengeluarkan kata-kata keji. Kekuatan yang tak seimbang sempat membuat Tuan Guru jatuh terpelanting. Untung saja para jama’ah yang lewat menolong Tuan Guru hinga terselamatkan dari amukan yang lebih parah.


Keesokan harinya orang-orang yang terlibat dalam penganiayaan Tuan Guru dicokok oleh pihak berwajib. Satu persatu ditangkap dan dijebloskan ke dalam sel kantor Polisi. Meskipun situasi dapat diatasi dengan cepat, namun situasi kampung tidak kondusif lagi. Semakin menambah deretan alasan orang untuk tidak hadir di masjid.

”Gara-gara lampu kristal ini barangkali penyebab hilangnya wibawa masjid Tuan Guru,” pikirku nakal. Lambat laun lampu-lampu penerang di depan masjid-pun dikurangi satu persatu dengan alasan meghemat listrik. Akupun prihatin, dan turut berduka cita atas kosongnya masjid ini.”Mungkinkah masjid ini akan ramai kembali seperti sedia kala?” ,begitu terus ucapan lirih di dalam hatiku.

Tuan Guru yang dulu alim dengan redupnya lampu masjid, tapi membawa cahaya terang buat penduduk sekitar. Kini Tuan Guru yang alim dengan megahnya masjid, tapi tak mampu lagi menyelamatkan cahaya batin masarakat .”Oalaah.....zaman edan ngkali’.”

Read More..

Selasa, 02 Juni 2009

IPNU tergantung GREEN-LIGHT NU
















Cikal bakal NU diawali dari pertemuan-pertem
uan anak-anak muda terpelajar yang mempunyai ghirah yang tinggi terhadap ajaran Islam. Bermula dari Hadratus Syekh K.H.Abdul Wahab Chasbullah yang baru saja pulang dari studinya di Makkatul Mukarramah. Beliau bersama-sama dengan anak-anak muda muslim di Surabaya berkumpul untuk mendiskusikan berbagai persoalan umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Tepatnya pada tahun 1914 M. didirikanlah suatu perkumpulan majelis munadzarah yang diberi nama “Tashwirul Afkar”, artinya potret pemikiran. Tashwirul Afkar yang berawal dari pemikiran ilmiah keagamaan murni, akhirnya semakin lama semakin berkembang sesuai dengan tuntutan zaman pada sa’at itu. Di mana Bangsa Indonesia masih berada dalam cengkeraman penjajah Belanda yang konon beragama Nasrani dan Yahudi.
Dalam perkembangan selanjutnya diskusi-diskusi itu semakin menarik para cerdik cendekia muslim untuk membahas perkembangan perjuangan Syari’at Islam. Membahas bagaimana idealnya syari’at Islam bisa berjalan dengan baik sekalipun Negara berada dalam kungkungan penjajah.
Maka dengan kesepakatan mereka, Tashwirul Afkar dirubah menjadi Jam’iyah Nahdlatul Wathan.
Dari nama yang diberikannya, maka bisa dilihat bahwa bermula dari kumpulan pengajian hingga menjadi perkumpulan atau organisasi yang menjurus politik Dan pada tahun 1916 M organisasi Nahdlatul Wathan ini baru mendapat pengesahan dari Pemerintah Belanda. Jam’iyah artinya : organisasi, al-Nahdlah artinya : kebangkitan, dan Wathan berarti : Tanah air. Jadi Jam’iyah Nahdlatul Wathan berarti : Organisasi Kebangkitan Tanah Air. Dari nama inilah dapat dipastikan bahwa kesadaran berpolitik kaum santri telah resmi menjadi perjoangan yang terorganisir untuk membela bangsa yang tertindas. Dan salah satu sikap tegasnya adalah penentangan terhadap “Guru Ordonantie” yang dibuat oleh Pemerintah Belanda. Yaitu suatu peraturan pembatasan kegiatan pengajaran Agama (Islam). Dan IPNU/IPPNU adalah salah satu Badan otonom dalam NU.
IPNU/IPPNU
IPNU (Ikatan Putera Nahdlatul Ulama dan IPPNU (Ikatan Puteri-Puteri Nahdlatul Ulama), merupakan organisasi tempat berhimpun generasi muda pelajar yang berada dalam kibaran panji jam’iyah Nahdlatul Ulama. IPNU/IPPNU yang berawal dari organisasi pelajar setingkat SLTP dan SLTA ini berfungsi sebagai wadah penempaan jatidiri, interaksi sosial, kejuangan dengan sandaran nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan (ke-Indonesiaan). Secara kelembagaan IPNU/IPPNU memiliki kedudukan strategis sebagai wahana kaderisasi putera/puteri NU sekaligus alat perjuangan NU dalam pembinaan generasi muda. Agar menjadi generasi masa depan yang tangguh dalam memperjuangkan ajaran agamanya dan nilai-nilai kebangsaann-nya. Niali-nilai keagamaan yang diperjuangkan adalah nilai-nilai ajaran Islam Ahlus Sunnah wal-Jama’ah seperti yang diperjuangkan oleh Ulama-Ulama NU. Maka para pemuda/pemudi yang tergabung dalam IPNU/IPPNU berproses dalam kaderisasi formal maupun informal. Kegiatan informal ini sangat penting, karena mereka dihadapkan pada realitas sosial yang selalu berkembang dari waktu ke-waktu. Agar para kader IPNU/IPPNU terlibat langsung dalam segala aktifitas, sekaligus menjadi team work yang baik. Maka dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh Pengurus NU selalu melibatkan kader-kader muda barisan IPNU/IPPNU. Hal ini dilakukan sebagai sosialisasi antara teori yang dikembangkan dalam pengkaderan formal juga diteruskan pada kehidupan nyata. Untuk itu para anggota IPNU/IPPNU yang secara optimal melibatkan diri dalam proses-proses kegiatan ke-NU-an, baik dalam bentuk kegiatan pengajian keagamaan maupun kegiatan sosial mabarrat akan menjadi kader yang militant. Tapi sebaliknya , anggota IPNU/IPPNU yang hanya mengikuti kegiatan pengkaderan formal saja, akan kering makna. Hanya tahu teoritis, tapi tidak kenal watak NU secara utuh. Sehingga character building dalam ke-IPNU-an kurang dapat dirasakan. Maka dari itu IPNU/IPPNU harus bergerak sesuai dengan green light dari Petinggi-petinggi NU. Dan maju mundurnya IPNU/IPPNU tergantung maju dan mundurnya para petinggi NU. Selanjutnya, tujuan IPNU/IPPNU selain memperjuangkan dan mempertahankan ajaran Islam menurut faham Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, juga membentuk kader-kader bangsa yang berilmu dan berwawasan nasional (NKRI). Dan yang lebih penting lagi adalah terbentuknya kader-kader yang mempunyai kemandirian dan pemberdayaan ekonomi. Jadi jelaskan bahwa IPNU/IPPNU merupakan organisasi kader yang bertugas mengantarkan anggotanya menjadi manusia-manusia yang memiliki karakter yang jelas sesuai dengan karakter yang dibangun oleh NU.
Orientasi Ekonomi
Seperti diketahui bahwa pengkaderan IPNU/IPPNU yang disebutkan di atas adalah mengharuskan kepada aktifis/pengurus IPNU/IPPNU untuk memahami karakter dirinya baik secara kelembagaan maupun secara individu. Terutama untuk mengembangkan organisasi baik kuantitas maupun kualitas. Dari segi kuantitas, diharapkan setiap pelajar yang berjiwa Ahlus Sunnah wal-jama’ah dapat ter-rekrut menjadi anggota IPNU/IPPNU secara sadar. Sedangkan dari segi kualitas, mampu melahirkan kader-kader mandiri, loyal dan militant. Dan yang lebih penting lagi mampu mengimplementasikan konsep Tawazun (keseimbangan), Tasamuh (toleran), I’tidal dan amar ma’ruf-nahi munkar yang dikembangkan oleh Syuriah NU. Dengan paradigma yang terpateri dalam konsep tawazun dan sebagainya itu diharapkan IPNU/IPPNU mampu menjadi kader-kader generasi muda ke depan yang mampu ambil bagian dalam membangun bangsa, menuju pada kehidupan sejahtera lahir dan batin. Dan persoalan bangsa yang paling mendasar pada dekade terakhir ini adalah persoalan ekonomi. Betapa setruktur masyarakat muslim banyak mengalami perubahan dari komunitas pengajian, menjadi komunitas ekonomi, bahkan komunitas politik. Hal ini merupakan salah satu dampak dari sistem pendidikan yang berkembang di sekolah maupun madrasah pada akhir-akhir ini. Kini kaum santri terpelajar tidak hanya bergerak dalam dakwah bil-lisan (pengajian dan zikir lisan), tapi juga merambah pada perjuangan ekonomi syari’ah. Yaitu perjuangan melawan hegemoni Barat yang secara tidak sadar menjajah ekonomi bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia ini. Maka dengan sadar kader IPNU/IPPNU mulai menyelesaikan tugas-tugas team work yang mengarah pada pengembangan ekonomi ke-umatan. Baik melalui koperasi bersekala kecil maupun Baitul mal wat tamwil yang sedikit demi sedikit mulai menterapkan sistem syari’ah. Bahkan tidak sedikit kini Perguruan Tinggi di negeri ini yang mengembangkan kurikulum berbasis ekonomi syari’ah. Dan ini menjadi tantangan tersendiri bagi para Aktifis IPNU/IPPNU. Sehubungan dengan pelantikan Pengurus Cabang IPNU/IPPNU kota Depok pada hari : Ahad, 31 Mei 2009 oleh Wakil Walikota Depok; diharapkan terjadi penyegaran pada Pengurus, juga terjadi perubahan pengkaderan yang signifikan dalam menghadapi tantangan generasi muda yang semakin komplek dan melelahkan. Selamat dan sukses.Amien.
Read More..