"Welcome to LENTERA ISLAM" Semoga bermanfaat Happy Reading

Selasa, 30 Juni 2009

Bunga Edelweis

Barang-barang kiriman sudah dinaikkan di atas truk. Sebentar lagi akan berangkat menuju pelabuhan Tanjung Priok, selanjutnya akan diangkut kapal Rinjani menuju pulau Ambai. Mulai dari selimut tebal, baju anak-anak dan kebutuhan sehari-hari yang di butuhkan oleh para pengungsi kerusuhan. Sebagian relawan ada yang naik truk bersama barang-barang kiriman, sebagian yang lain naik mobil-mobil carteran yang telah disewa oleh panitia.

Siang itu terik matahari menyengat sekali, serasa matahari tepat di atas kepala. Sampai akupun beberapa kali kehabisan tissue untuk menyeka keringat yang bercucuran di wajahku. Aku melihat Bang Toriq bersama tim relawan lainya .penuh semangat mempersiapkan barang-barang apa saja yang akan dibawa pergi. Tidak ketinggalan aku pun turut sibuk mepersiapkanya. Hanya saja aku dan teman-teman wanita semua tidak ikut mengurusi barang-barang berat. Cuma di bagian administrasinya saja dan penggalangan dana.

“Wati, kamu ambilkan kameraku di kantor sekretariat.” kata Bang Toriq sambil membuka-buka tas ransel yang dari tadi digemblokkan di badannya. Aku pun segera meluncur dengan motorku ke sekretariat untuk mengambil kamera yang dimaksud. Ternyata kamera itu sudah dibawa oleh Erna sepuluh menit yang lalu, kata penjaga kantor. Akupun tidak lama pergi lagi ke pelabuhan. Dan Erna sudah ada di pinggir pelabuhan bersama teman-teman akhawat lainya melambai-lambaikan tangannya.
Aku tidak sempat melihat Bang Toriq bersama teman-teman relawan ketika meninggalkan pelabuhan. Hanya bisa melihat dari kejauhan, kalau-kalau yang melambaikan tangan sambil membuka topi merah-hijaunya itu adalah Bang Toriq. “Selamat jalan, Bang Toriq.” kataku lirih. Tanpa disadari air mataku sudah membasahi pipi dan beberapa kali Erna sahabat karibku mengelap pipiku dengan sapu tangannya.
“Ikhlaskan, wati,” tutur Erna di sampingku.
”Ikhlaskan Bang Toriq dan teman-teman semua menuju medan juang,” lanjut Erna menasihatiku.

Tanpa jawaban sepatah katapun yang bisa aku ucapkan selain anggukan kepala yang diiringi dengan isak tangisku. Tak kuasa aku menahan tangis, bukan karena semata aku berpisah dengan Bang Toriq. Tapi aku tidak bisa ikut serta dalam medan juang yang menjanjikan pahala dan keuntungan akhirat yang luar biasa.
Aku ingat nasehat para pembimbingku selama ini di dalam setiap liqa’ : ”Hiduplah dengan mulia atau matilah dengan mati syahid.” Oleh sebab itu hidup adalah perjuangan. Berjuang untuk hidup yang bermartabat. Agar mulia di hadapan Tuhan dan terhormat di hadapan manusia. Apabila terpaksa ajal menjemput, kita pun siap. Sebab Tuhan telah menjanjikan kebahagiaan dan keindahan surgawi. Di dunia bergaul dengan orang yang baik dan di akhirat-pun dikumpulkan dengan para kekasih Tuhan: Anbiya’, Auliya’ dan para Syuhada’.

“Betapa bahagianya, jika aku bisa turut serta dalam rombongan para pejuang itu.” bisikku dalam hati. Tapi itulah keterbatasan sebagai seorang wanita. Tidak bisa ikut terjun langsung ke medan juang. Untungnya sahabatku Erna terus menerus mendanpingiku. ”wati,!” katanya.
”Ya, apa?”, sautku singkat. ”Berjuang itu ada porsi dan tugas masing-masing, tidak harus sama antara laki-laki dan perempuan,” lanjutnya.
“Yang penting kita terus berdo’a untuk keselamatan mereka.” kata Erna seperti suara orang tua yang sedang menasehati anaknya. Aneh, memang; padahal selama ini Erna adalah termasuk salah satu akhawat yang suka ngablak. Ngomong ceplas-ceplos seperti anak remaja gaul pada umumnya. Tapi kali ini bersikap sepeti orang dewasa. Barang kali baru saja dia mendapat hidayah. Persis seperti ustadzah, omongannya setiap kata yang keluar dari mulutnya mengandung hikmah. Sehingga kata-katanya sejuk aku dengar, terasa adem menghunjam ke dalam hatiku, bak disiram air dari kulkas.
###
Sambil menelusuri jalan raya yang padat dengan kendaraan roda dua dan roda empat dari pelabuhan Tanjung Priok, aku masih terlibat obrolan tentang teman-teman relawan yang baru saja berangkat.
”Oh ya, wati, ini ada titipan dari Bang Toriq”, tiba-tiba saja Erna menyodorkan bungkusan kertas warna krem. Tidak sabar lagi menunggu di rumah, bungkusan itupun lalu kubuka. Betapa kagetnya aku, ternyata di dalam bungkusan tersebut terdapat setangkai bunga Edelwis dan selembar surat. Tapi sayang bunga tersebut sudah tidak utuh lagi .
”Ma’af ya, Wati.” kata Erna setelah melihat bunga titipan Bang Toriq telah hancur. ”Saya tidak tahu kalau isinya bunga Edelwis. Mungkin terjepit di dalam tasku tadi,” lanjutnya. ”Ya, tidak apa-apa,” jawabku menghibur. Walaupun hatiku terasa agak kecewa ketika melihat bunga yang sudah agak remuk itu. Dan untung di dalam secarik kertas itu terdapat tulisan tangan Bang Toriq yang bisa menghibur hatiku. Mengurangi luka hatiku karena rontoknya bunga Edelwis.
”Watiku sayang, kukirim bunga edelwis ini untukmu.” kalimat pembukanya yang membuat jantungku berdebar. ”Bunga ini kubawa dari gunung Tengger, Jawa Timur, sewaktu aku ikut latihan relawan di sana,” lanjut tulisan itu. ”Edelwis adalah lambang cinta sejati, kata orang–orang di sana. Walaupun seperti mati, tapi ia tetap hidup.” ”Demikian juga cintaku padamu. Sekalipun kita berpisah sacara ragawi, tapi takkan ada kata berpisah secara nurani. Rinduku tak kan pernah pudar layaknya bunga edelwis ini.” Begitulah bunyi tulisan Bang Toriq yang sempat kubaca di atas kendaraan sepulang dari pelabuhan.

Dan sesampainya di rumah, bunga itu aku rawat dan aku tata kembali. Sedikit-demi sedikit aku sambung dengan lem, sehinga rekat dan utuh kembali. Sekalipun agak kesulitan, tapi akhirnya aku bisa merangkai kembali dan tegar seperti aslinya. Setiap hari aku semprot dengan parfum yang harum, sampai-sampai melebihi harumnya bunga aslinya ketika di tempat tumbuhnya. Kadang di malam haripun masih sempat kuciumi jika usai belajar. Bunga itu kusimpan di meja belajarku dekat lampu yang biasa menerangiku, jika aku sedang belajar atau menyelesaikan tugas-tugas organisasi.
Sementara secarik kertas yang mengiringi bunga edelwis itu aku laminating dan aku bingkai warna coklat muda serasi dengan warna bunganya. Kuletakkan berdampingan dengan bunga yang setiap sa’at aku memandangi bunga itu sekaligus terbaca tulisan Bang Toriq.
# # #
Semingu kemudian aku tunggu-tunggu kabar dari Bang Toriq, ternyata belum datang. Dua minggu berikutnya juga belum dapat berita sama sekali. Hanya sesekali ada berita di televisi dan surat kabar nasional yang memberitakan Pulau Ambai rusuh. Melalui berita - berita media massa itulah aku memperoleh berita sepintas tentang pulau Ambai. Tapi selalu beritanya - dikatakan oleh pejabat yang berwenang :”Situasinya aman dan terkendali”.
Namun aku tetap saja was-was. Sebab sudah menjadi rahasia umum bahwa berita-berita di media massa sering tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Bahkan ada anekdot, “Kalau baca berita Koran, maka bacalah terbalik.” Maksudnya :kalau dikatakan aman, berati tidak aman. Kalu dikatakan tidak ada warga gizi buruk, berarti ada gizi buruk. Dan begitu seterusnya.
Baru setelah sebulan kemudian aku dapat berita bahwa Bang Toriq termasuk salah satu korban kerusuhan Malam Idul Fitri. Di mana tragedi bakar-bakaran rumah terjadi bukan hanya di kota saja, tetapi juga di kampung-kampung. Termasuk kampung Harukau. pusat markas relawan Anti Hura-Hura yang dipimpin oleh Bang Toriq.
“Syuhada’ yang gugur ada lima orang ,” kata ustadz Sarqon ketika berbicara di aula kantor relawan. ”Termasuk Bang Toriq yang waktu itu jenazahnya sempat di solatkan di sebuah Surau terdekat .” Ustadz Sarqon memberi penjelasan panjang lebar tentang tragedi tersebut, yang menurutnya dengan cepat dapat dikendalikan oleh pihak berwajib.
Semua yang hadir menundukkan kepala, pucat dan lesu. Bahkan Erna sahabatku menangis sampai pundaknya terguncang. Sesekali memadangiku sambil sesenggukan menghabiskan air matanya. Mungkin dia juga heran melihatku. Mengapa aku tidak tampak sedih, bahkan terseyum. Memang aku terseyum. Karena air mataku sudah terkuras habis setiap tahajud malam, sambil bermohon kepada Allah. Dalam do’aku yang selalu kupanjatkan : ”Yaa Allah, selamatkan para relawan-Mu. Para pembela-Mu” .”Termasuk Bang Toriq, jika memang harus Engkau panggil, maka tempatkanlah di tempat yang mulia di sisi-Mu.”

Benar juga, akhirnya do’aku dikabulkan oleh-Nya. Kini Bang Toriq menjadi syuhada’ yang insya Allah terseyum di depan malaikat Ridlwan yang menyapanya dengan ramah. Dan bunga edelwis yang pernah retak itu mungkin isyarat akan kepergiannya menghadap Sang Kholiq untuk selama-lamanya. ”Selamat jalan Bang Toriq,” ucapku pelan sesa’at usai mendengarkan kabar dan tausiyah dari ustadz Sarqon. ”Perjuanganmu tak kan sia-sia.Tuhan Maha Mengetahui terhadap perbuatan hamba-Nya, mana yang baik dan mana yang buruk. ”Selamat menikmati hasil perjuanganmu. Kau
memang layak menjadi kekasih Sang Maha Kasih ”, ucapku pelan hingga tak terdengar oleh semut sekalipun.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar