"Welcome to LENTERA ISLAM" Semoga bermanfaat Happy Reading

Selasa, 16 Juni 2009

Lampu Kristal

Hari itu Kamis malam Jum’at. Ya aku ingat betul hari itu tepatnya Kamis malam Jum’at Kliwon. Seperti adat kebiasaan orang kampungku, di setiap malam Jum’at Kliwon mengadakan ritual khusus. Tidak seperti malam-malam Jum’at lainya. Kalau malam Jum’at biasa, para jama’ah hanya membaca surat Yasin dan Tahlil atau Ma’tsurat sehabis shalat Maghrib. Tapi kalau malam Jum’at Kliwon, suasana masjid sangat berbeda. Terasa sangat sakral dan mistis. Dari Ashar sudah ada yang berdatangan di Masjid. Ada yang membaca Al-Qur’an, ada yang membaca kalimat-kalimat toyyibah, tasbih. Dan ada juga yang sekedar duduk-duduk di depan masjid ngobrol sana-sini.

Matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat. Jama’ah semakin banyak saja. Mereka memadati jalan-jalan kampung berbondong-bondong menuju masjid. Setiap orang laki-laki dewasa membawa makanan, ada yang di baskom, nampan, nyiru, dll. Beragam makanan dibawa ke masjid. Mulai dari nasi pecel, tahu-tempe, nasi ambeng padat sayur lodeh dan lauk ikan bandeng, sampai ada pula tumpeng lengkap dengan ayam wungkul (utuh) dengan bumbu gule atau kare.

Sesampai di masjid makanan itu dikumpulkan terlebih dahulu di rumah Tuan Guru untuk dihitung dan diatur. Kemudian usai acara ritual di masjid, makanan tersebut dibawa masuk ke dalam masjid bagian depan yang disebut jerambah. Mereka berjajar dan berbanjar seperti barisan tanaman singkong. Sambil duduk bersila saling berhadap-hadapan, menghadap makanan yang dibawa oleh para jama’ah. Mereka saling tukar, ada yang tadinya membawa nasi uduk, dapat nasi tumpeng. Ada yang membawa ambengan, dapat nasi pecel.


”Silakan dibuka !”, kata Pak Ustadz Asnih yang setiap acara selalu bertindak aktif. Kebetulan dia juga pengurus masjid bagian peribadatan. ”Jangan langsung pulang, sebelum dimakan ambengnya.” katanya lagi. Dan orang-orang tua dan muda sibuk masing-masing menyerbu santapan yang sudah tersedia di hadapannya. Tapi ada juga yang hanya mencicipi sedikit, lalu nasi itu dibagi sesuai dengan jumlah peserta yang duduk di depan makanan tersebut. Lalu dibungkus dengan daun pisang yang memang semua makanan diserapi dan ditutup dengan daun pisang. Maklum di kampungku lebih mudah mencari daun pisang dari pada mencari kertas pembungkus.


Mereka pulang dengan hati berbunga-bunga sambil membawa bungkusan nasi yang dibawa dari masjid. Sesampainya di rumah, makanan itu diserahkan kepada istri dan anak-anak perempuan mereka untuk disantap bersama. Sebab anak-anak perempuan mereka tidak ikut ke masjid, semuanya menunggu di rumah. Aku tidak tahu dengan pasti apakah ritual berjama’ah di masjid memang hanya untuk kaum laki-laki saja. Aku juga tidak tahu apakah hal itu memang mengikuti ajaran agama, atau hanya sekedar tradisi. Yang aku tahu sejak kecil hingga sekarang, memang tidak ada kaum hawa di kampungku yang turut serta berjama’ah di masjid. Sehingga masjid itu selalu penuh hanya dengan kaum pria saja.

***

Suatu hari masjid Tuan Guru dipasang lampu kristal yang sangat terang. Indahnya menghiasi masjid yang semakin megah dan mentereng. Dari kejauhan masjid itu terlihat seperti istana. Dari celah kaca-kaca jendela dan kaca atas dekat atap tampak menyorotkan sinar putih kemerah-merahan. Sampai-sampai ada yang berkomentar : ”kaya lampu surga saja”.

Tepat di hari Milad Tuan Guru yang ke-tujuh puluh dirayakan sangat meriah. Selain dihadiri oleh jama’ah sekampung, juga ada pejabat tingginya. Bahkan berhembus kabar kalau lampu kristal yang ada di masjid itu pemberian dari seorang pejabat tinggi yang sedang mencalonkan diri menjadi orang nomor satu di negri ini.

”Mari kita berdo’a bersama untuk tamu kita hari ini, yang mulia Bapak Juhari yang mencalonkan diri sebagai presiden.” Ajak Tuan Guru kepada para jama’ah. Lantas do’a-pun dipanjatkan dan diamini oleh seluruh jama’ah yang hadir. Tidak terkecuali aku pun ikut serta berdo’a. Hanya saja dalam benakku berkata :”mengapa Tuan Guru mau mendo’akan Pak Juhari yang mencalonkan presiden .” Batinku terasa berkecamuk di tengah-tengah berdo’a yang dipimpin Tuan Guru yang selama ini terkenal sangat alim dan wa’ra. Pertanyan yang semakin tak terjawb adalah: ”apa Tuan Guru tidak lagi melihat sesuatu dengan ilmunya yang objektif ?”

Bukanlah Pak Juhari selama ini dikenal orang yang banyak noda hitamnya di tengah-tengah masyarakat. Dia terkenal kaya-raya, tapi juga sejalan dengan itu terkenal Pula pelitnya. Sebagai aghniya’ muslim yang sudah masuk taraf muzakki, namun belum pernah terdengar berzakat. Hanya terdengar menyumbang masjid atau bencana alam, yang semua itu bersifat karitatif. Yang disumbangkan tidak sebanding dengan kekayaan yang dimilikinya. Belum lagi beberapa jeratan hukum yang terlkait dengan kelakuannya, baik korupsi maupun nakalnya terhadap orang kecil maupun perempuan.

Tuan Guru terus menerus berbicara menasehati para jama’ah. Isinya tentang hidup zuhud atu menjauhi dunia. ”Hidup itu jangan terlalu memanjakan diri dengan bergelimang harta,” katanya. Sebab harta yang melimpah bisa menyebabkan tumpulnya hati. Apa lagi kelak di padang mahsyar, akan menghambat perjalanan menuju surga. Begitu salah satu isi nasihat Tuan Guru.

Aku lihat orang-orang banyak yang manggut-manggut, petanda setuju. Tapi Pak Sutrisno yang duduk di sampingku dari tadi terlihat bengong saja. Tidak menunduk sedikitpun. Matanya mengarah tajam kepada Tuan Guru. Tiba-tiba dia bicara sambil menengok kepadaku: ”Aku tidak percaya lagi dengan Tuan Guru.” ”Masak orang lain disuruh hidup miskin, sementara dia semakin menumpuk kekayaan .” katanya nerocos dan tampak kurang sopan.

”Karuan aku ini kan sudah miskin dari dulu,” kata Pak Sutrisno yang nampak mulai ada penetangan kepada Tuan Guru. Pada hal selama ini aku tahu Pak Sutrisno itu adalah termasuk jama’ah yang paling rajin dan setia menghadiri acara kemasjidan. Sangat jauh berbeda dengn aku yang sering bolos tidak hadir ngaji karena sibuk kerja. Maklum kerjaku juah di kota.

Sepulang dari masjid ternyata banyak orang-orang yang berkata mirip ucapan Pak Sutrisno di masjid tadi. Bahkan ada yang lebih keras setengah mengejek dan profokatif. ”Tidak pantas lagi Tuan Guru berbicara seperti itu ,” kata mereka sambil berjalan menuju rumah masing-masing. Dan tidak itu saja, bahkan ada yang mengancam keluar dari pengajian Tuan Guru. Alasan mereka ; ”Tuan Guru sudah terkontaminasi dengan kehidupan glamour.”

Ada yang beranggapan kalau Tuan Guru sekarang sudah terlalu banyak menerima upeti dari pejabat atau calon pejabat. Sehinga hartanya melimpah, bergaya borjuis mirip pejabat. Dan sesekali dalam acara-acara zikir bersama yang semestinya bermunajat hanya kepada Tuhan, tapi diselipi dengan promosi-promosi dukungan para calon penguasa. ”Kalau orang yang didukungnya itu baik sih ngak apa-apa,” kata Pak Sutrisno sewaktu di masjid.

***

Kini semakin hari semakin berkurang yang datang ke masjid Tuan Guru. Kalau toh ada yang datang, tidak sampai setengah masjid. Paling banter hanya di sepuluh baris pertama. Selebihnya kosong tak terisi jama’ah.

Sebagian orang-orang ada yang tidak lagi beribadah sepeti dulu, sebagian ada yang pindah ke tempat lain. Dan yang lebih parah lagi malah ada yang setiap malam hanya menghabiskan waktunya di Pos Ronda atau di taman-taman tengah kampung. Mereka main kartu remi/domino, catur dan lain-lainya. Sementara para remaja hanya main gitar, main tabuh-tabuhan lain sambil teriak-teriak menyanyi tak tahu ujung pangkalnya.

Lebih tragis lagi sandal di depan masjid sering hilang, bahkan tidak sedikit motor yang hilang tanpa bisa diketemukan malingnya. Sekarang masjid dikelilingi oleh orang-oran yang lupa ibadah.


”Kini malam Jum’at, tidak sakral lagi,” kata Ustadz Asnih yang mengeluhkan kekosongan masjid. Tiba-tiba Tuan Guru muncul melewati Pos Kamling penuh dengan orang-orang yang sedang main kartu sambil mabuk-mabukan. Dan seperti biasanya Tuan Guru tidak bisa diam kalau melihat kemungkaran .

Kontan Tuan Guru menegur, ”Bubar-bubar, sudah malam ,” katanya kepada orang-orang yang sedang asyik-masyuk di Pos tersebut. Bukannya mendapat respon yang baik, tapi justru balasan yang sangat tidak wajar. Mereka mengamuk memukuli Tuan Guru sambil mengeluarkan kata-kata keji. Kekuatan yang tak seimbang sempat membuat Tuan Guru jatuh terpelanting. Untung saja para jama’ah yang lewat menolong Tuan Guru hinga terselamatkan dari amukan yang lebih parah.


Keesokan harinya orang-orang yang terlibat dalam penganiayaan Tuan Guru dicokok oleh pihak berwajib. Satu persatu ditangkap dan dijebloskan ke dalam sel kantor Polisi. Meskipun situasi dapat diatasi dengan cepat, namun situasi kampung tidak kondusif lagi. Semakin menambah deretan alasan orang untuk tidak hadir di masjid.

”Gara-gara lampu kristal ini barangkali penyebab hilangnya wibawa masjid Tuan Guru,” pikirku nakal. Lambat laun lampu-lampu penerang di depan masjid-pun dikurangi satu persatu dengan alasan meghemat listrik. Akupun prihatin, dan turut berduka cita atas kosongnya masjid ini.”Mungkinkah masjid ini akan ramai kembali seperti sedia kala?” ,begitu terus ucapan lirih di dalam hatiku.

Tuan Guru yang dulu alim dengan redupnya lampu masjid, tapi membawa cahaya terang buat penduduk sekitar. Kini Tuan Guru yang alim dengan megahnya masjid, tapi tak mampu lagi menyelamatkan cahaya batin masarakat .”Oalaah.....zaman edan ngkali’.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar