"Welcome to LENTERA ISLAM" Semoga bermanfaat Happy Reading

Selasa, 13 Oktober 2009

Tutup Puasa dengan I'tikaf


“Jama’ah Shalat Terawihnya semakin maju”, kata seorang pengurus DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) masjid di sebuah kompleks perumahan. Jangan keburu senang atau keliru persepsi. Yang dimaksud maju oleh Bapak DKM tersebut bukan semakin hebat jama’ahnya, tapi sebaliknya justru semakin berkurang. Coba bayangkan, pada waktu minggu-minggu pertama bulan Ramadlan hampir semua masjid atau mushalla penuh sesak jama’ah yang shalat Terawih. Tapi begitu memasuki pertengahan bulan puasa jama’ah mulai berkurang.

Memang bisa saja orang beralasan. Ada yang bilang : mungkin disebabkan Ibu-ibu banyak yang datang bulan (uzur syar’i). Ada yang mengatakan mungkin Ibu-ibu mulai sibuk bikin kuwe lebaran. Benar saja, itu bagi Ibu-ibu. Tapi kenyataannya bukan hanya ibu-ibu yang tidak datang ke masjid, tapi juga bapak-bapak. Lantas ada yang bilang, “Oo mungkin karena sudah banyak yang pulang kampong”. Yang jelas banyak sekali alas an yang dikemukakan atas bentuk kemajuan shaf (barisab) jama’ah shalat terawih.

Persoalannya, sebenarnya tidak terletak pada semua alasan tersebut. Persoalan yang sesungguhnya, adalah minimnya pengetahuan (keagamaan) tentang urgensi shalat malam atau terawih bagi shaimin dan shaimat. Bukankah semakin akhir Ramadlan justru semakin besar pahalanya.? Semakin bernilai transenden ? Ibaratnya orang pertandingan sepak bola, punya urutan yang lazim. Pertama disebut babak penyisihan, urutan kedua; babak semi final. Dan yang paling berat adalah babak final. Di mana semua peserta lomba harus meningkatkan stamina dan kemampuan bertandingnya. Demikian juga dalam menghadapi detik-detik ramadlan yang merambat menuju tangga terakhir (likuran, jw.)

Kontemplasi


Rasulullah saw. mengajarkan kepada para isterinya, sahabat-sahabatnya dan juga kita semua, bahwa menutup Ramadlan hendaknya semakin dekat dengan Allah. Semakin memperbanyak ihyau layali (melek malam). Semakin sering berada di masjid. Kalau biasanya banyak kerja di kantor atau tempat kerja, maka semakin akhir hendaknya sesering mungkin berada di masjid. Maka Rasulullah saw. mengajarkan kita untuk ber-I’tikaf di masjid. Bahkan Nabi saw. bukan hanya semalam atau dua malam, tapi sepuluh malam terakhir bulan Ramadlan.

Apa itu I’tikaf ? I’tikaf itu ya berdiam diri di masjid. Berdiam saja, nggak ngapa-ngapain. Lalu mungkin ada yang bertanya; untuk apa berdiam diri di dalam masjid.? Tentu saja pertanyaan semacam itu logis saja bagi manusia. Apa lagi manusia modern yang sibuk dengan aktifitas duniawi seperti sekarang ini. Kok buang-buang waktu saja, begitu gerutunya. Pada hal kalau mau tahu, yang namanya I’tikaf itu merupakan kontemplasi tingkat tinggi. Di mana seseorang butuh satu waktu untuk berdiam diri secara fisik. Tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh tidak banyak bergerak. Bila perlu duduk bersimpuh. Untuk ber-munajat kepada Sang Pencipta; Allah Rabbul jalali.

Dengan berdiam diri itulah, sa’at yang tepat untuk merenung, introspeksi dan koreksi atas perbuatan kita selama satu tahun yang telah lampau. Plus-minusnya dari tindakan kita. Apakah sudah sesuai perjalanan kita dengan tuntunan Tuhan atau masih jauh dari tatanan dan tuntunan kosmic dan syar’i. Hukum alam (sunnatullah) atau syari’at-Nya. Kalau belum, di bagian mana yang kurang. Kalau masih banyak penyimpangan yang mana yang harus dikembalikan pada rel yang benar. Lalu rencana ke depan, apa yang harus kita kerjakan. Masa depan di dunia, juga masa depan di akhirat. Firman-Nya “wal-tandzur nafsum maa qaddamat lighad”. Semua orang hendaknya mau melihat pekerjaan yang sudah untuk melangkah ke depan.

Toleran


Dengan puasa yang penuh ketekunan dan keikhlasan memungkinkan manusia untuk melakukan penghayatan spiritual. Melakukan perenungan yang salah satunya bersedia menyisihkan sebagian waktunya untuk ber-I’tikaf di masjid. Sebab dengan I’tikaf itulah seseorang dapat keheningan dan kebeningan hati. Suara hati akan terdengar nyaring oleh pemilik telinga.

Dengan begitu setiap tarikan nafas orang yang melakukan I’tikaf akan dapat merasakan bahwa manusia itu kecil di hadapan Tuhannya. Merasa tak berdaya dibanding dengan kebesaran Tuhan yang mencipta dan mengatur kosmos semesta ini. Jadi yang besar itu hanya Tuhan. Bukan manusia, sekalipun berpangkat maupun berharta atau berlimpah dunia. Mengapademikian ? Karena ia mengetahui jika penya jabatan, itu hanyalah titipan Tuhan yang sebentar lagi akan diambil kembali oleh yang menitipkannya. Kalau ia punya harta kekayaan, maka ia sadar bahwa harta itu juga titipan. Pemilik yang hakiki adalah Yang Maha pemberi adan Maha Pemurah, yaitu Allah swt. Lantas bagaimana dengan hak manusia ?

Hak manusia hanya berhak memanfa’atkan. Berhak menikmati tanpa harus merusak. Maka Allah swt. juga memberi tahu kepada kita bahwa kepemilikan harta dunia itu hanya kamuflase. “Wamal-hayatud dun ya illa mata’ul ghuruur”, tiadalah kehidupan dunia itu kecuali hanya tipuan belaka.” Artinya kesengan dunia hanya sesa’at, tidak abadi. Maka dari pemahaman itulah seseorang yang lulus dalam I’tikafnya akan merasa senasib dan sepenanggungan dengan orang-orang lain yang ada di sekitarnya. Karena pemahaman inilah , maka ia hormat pada orang lain. Bisa memahami keberadaan orang lain dan bisa bekerja dengan orang lain. “Lita’arafuu”, untuk saling kenal dan “ta’awun”, saling Bantu membantu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi semakin toleran terhadap orang lain. Karena merasa saling menyangi dan disayangi.

Semoga puasa yang kita lakukan selama Ramadlan kali ini dapat mendorong kita untuk mengakhirinya dengan ber-T’ikaf di masjid-masjid. Guna menyempurnakan ibadah kita, sehingga meraih derajat taqwa yang sebenar-benarnya. Wallahu a’lam bis shawab.
Read More..

Kamis, 01 Oktober 2009

Tawakal Cinta



“Sesungguhnya Allah itu mencintai orang-orang yang bertawakal.”( Q.S. Ali Imran : 159). Maka logikanya orang yang bertawakal akan memperoleh cintanya Allah. Dan kalau sudah dicintai oleh Allah, maka apa pun yang diinginkannya, pasti akan terkabul. Sebab mencintai, berarti memberi. Allah Yang Mencintai seseorang, tentu akan memberi apa saja yang menurut Allah baik bagi orang Yang Dicintainya. Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang yang mengira bahwa Allah itu tidak adil. Padahal setiap hari Allah mengedar rizki dan berbagai macam anugrah buat semua orang yang ada di muka bumi ini. Apalagi bagi orang yang berserah diri kepada Kekuatan Allah. Mereka akan merasakan kecukupan dalam setiap kebutuhan hidupnya. Sebab Allah sudah menakar pemberian-Nya kepada hamba-Nya sesuai dengan kebutuhan.
Coba perhatikan perilaku manusia yang baik terhadap anaknya. Dengan rasa cintanya, seorang tua akan memberi segala sesuatu yang dibutuhkan oleh anak-anak nya. Dan pemberian itu disesuaikan dengan kebutuhan anaknya. Anak yang masih kecil dibelikan susu botol. Anak remajanya diberi uang untuk beli jajanan bakso, anak yang hampir menikah dibelikan baju pengantin dan begitu seterusnya. Jadi ukuran pemberian orang tua kepada anak disesuaikan dengan kebutuhan anak. Tidak disesuaikan dengan kebutuhan orang tua. Begitulah logika sederhana perhatian Tuhan terhadap manusia sebagai hamba-Nya yang dicinta. Tak ada alasan bagi –Nya untuk tidak memberi kebutuhan hamba-Nya yang bergantung kepada-Nya. Allah semakin senang, jika hamba-Nya semakin mendekati-Nya. Semakin cengeng kepada Tuhan, maka Ia akan merasa Iba dan kasihan kepadanya. Sehingga Allah tak segan-segan memberi apa saja yang mereka minta kepada-Nya. Hanya Kepada Allah.
Orang yang tidak berserah diri kepada Allah adalah orang yang masih dihinggapi sifat sombong. Sebab ia merasa bisa melakukan segala sesuatu tanpa bantuan Allah. Padahal semua pekerjaan kita tak ada satupun yang lepas dari bantuan Allah. Misal orang berdagang ada yang laku laris, ada yang laku sedang-sedang saja dan ada pula yang tidak laku sama sekali. Mengapa demikian ? Sebab usaha manusia hanya merupakan sebab atau wasilah dari suatu keberhasilan. Hanya perantara saja. Sedangkan hasil atau tidaknya tergantung pada keputusan Allah swt.
Orang yang bergantung kepada keputusan Allah adalah sebagai tanda rasa cintanya kepada Tuhannya. Dan inilah yang menjadi tuntutan setiap manusia yang bertuhan. Kenapa manusia harus bergantung kepada Kekuatan Tuhan, sebab selain Tuhan tidak ada yang mempunyai kekuatan seperti kekuatan Tuhan Yang luar biasa dahsyatnya. Demikian juga makhluk selain Tuhan, mereka juga butuh hidup seperti kita juga. Mereka butuh hidup, butuh pertolongan dan butuh gantungan. Maka aneh jika ada manusia yang dalam hidupnya tidak mau bergantung kepada Tuhan. Bukankah Tuhan Allah Yang Maha Mulia dan Perkasa ?
Mencari backing kepada makhluk tak ubahnya mencari perlindungan di balik rumah laba-laba (ankabut). Tertiup angin sedikit saja bisa rusak. Apa lagi percaya bahwa kekuatan manusia mampu menghasilkan kekuatan energi yang mampu mendorong manusia untuk berhasil. Sama sekali tidak demikian. Sebab keberhasilan manusia hanya tergantung pada Allah semata. Maka rizki yang kita cari bukan dari orang lain. Tapi dari Allah swt. yang kita mohon agar menggetarkan orang lain buat pemenuhan kebutuhan kita. Itulah fungsi do’a di hadapan Allah swt. Maka dalam ibadah puasa sebenarnya adalah membersihkan akidah tauhid setiap manusia yang beriman. Puasa bukannya menjadikan gila kerja, tapi puasa mengantarkan manusia menyeimbangkan kerja. Seimbang antara kebutuhan manusia dan iradah Allah. Seimbang antara kebutuhan duniawi dan kebutuhan ukhrawi. Ibarat kata : siang jadi tentara, malam jadi malaikat.
Bukan Cinta Buta
Mencintai Allah bukan berarti membabi buta. Siang dan malam hanya untuk shalat saja - misalnya. Tapi cinta kepada Allah adalah jika kita mampu memberikan cinta yang sesuai dengan porsinya. Itulah sebabnya Nabi saw. mengajarkan : ”bahwa Allah punya hak yang harus kita tunaikan, kita juga punya hak yang harus kita berikan, istri kita juga punya hak yang wajib kita berikan. Dan begitu juga semua manusia yang ada di sekitar kita memiliki hak yang harus kita berikan kepadanya”.
Maka orang muslim yang berakhlak mulia adalah orang yang mampu memberikan hak kepada setiap yang memiliki haknya. Tidak berani ngembat milik orang lain. Apalagi ngembat milik Tuhan. Penyembahan kepada Tuhan adalah hak Allah yang harus kita tunaikan. Jika kita tidak berpuasa Ramadlan-misalnya itu artinya sama saja dengan ngembat milik Tuhan. Jika kita berani mengatakan kita mencintai-Nya, maka kita harus berani berkurban untuk-Nya. Berpuasa dengan lapar dan haus adalah sebagian dari pengurbanan kita. Dan tiada pengurbanan tanpa ada imbalan. Setiap pengurbanan pasti akan mendatangkan imbalan yang setimpal. ”Al-Ujratu bi-qadrit-ta’ab: imbalan itu seimbang dengan kepayahannya.” Maka semakin maksimal usaha seseorang, maka semakin maksimal pula ganjarannya.
Semoga di bulan yang suci ini kita termasuk orang yang mencintai Allah dengan setulus hati. Dan termasuk orang yang mampu membuktikan rasa cinta itu di hadapan Sang Khalik Yang Maha Rahiem. Tidak sekedar di hadapan sesama manusia. Wallahu a’lam bis shawab.
Read More..