"Welcome to LENTERA ISLAM" Semoga bermanfaat Happy Reading

Rabu, 10 Juli 2013

Makan sahur, agar tetap produktif


Puasa itu memang lapar dan haus. Karena menahan diri dari makan dan minum. Dan dampak dari itu maka orang yang berpuasa terasa lemas dan kurang bertenaga. Sehingga banyak orang Islam yang enggan berpuasa dengan alasan bekerja yang memang membutuhkan tenaga. Tapi di samping itu juga banyak orang yang mampu berpuasa walaupun mereka bekerja keras, baik kerja fisik maupun non fisik.
Pertanyaannya “mengapa ada orang yang kuat berpuasa dan ada yang tidak mampu berpuasa ?” Jawabnya terletak pada batin masing-masing orang. Orang yang tidak kuat berpuasa dengan alasan bekerja sebenarnya sah-sah saja. Tapi bukankah dari dulu orang sudah bekerja dan bisa berpuasa.? Tentu saja hal ini sangat tergantung pada sejauh mana kesetiaan seorang muslim kepada Tuhan dan Rasul-Nya.
Syari’at puasa bukan untuk memperberat beban mukallaf (Orang Islam, dewasa dan berakal sehat), tapi syari’at puasa sebenarnya merupakan proses penguatan psikis seseorang yang berpuasa. Karena dengan berpuasa itu seseorang dapat berlatih mengendalikan diri (nafs). Logikanya kalau makan dan minum yang halal saja dia mampu menahan diri, apalagi makan dan minum yang haram. Pasti dia akan lebih mampu menahan diri. Sebagaimana Allah swt. menjelaskan dalam Al-Qur’an :”Yuridullahu bikumul yusra walaa yuriidu bikumul ‘usra  : Allah swt. (dengan berpuasa) menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan.”
Maka Rasulullah swt juga mengajarkan agar dalam berpuasa itu tidak meninggalkan sahur. Arti sahur adalah makan menjelang subuh/pagi. Mengapa orang berpuasa disuruh makan menjelang pagi ? Hal ini untuk meringankan beban ketika di siang hari. Karena sudah ada persiapan tenaga. Jika seseorang bekerja fisik, maka sahurnya banyak karbohidratnya, sedangkan orang yang bekerja non fisik, banyak makan proteinnya. Dengan demikian di siang hari walau berpuasa tetap kuat dan segar.
Dalam Hadits Sohih Bukhari-Muslim, Rasulullah saw. bersabda : “Tasahharuu  fainna fis sahuuri barakatan, bersahurlah kamu sekalian, karena sesungguhnya di dalam (makan) sahur itu terdapat barakah.”  Hadits ini jelas mengajarkan kepada kita agar makan sahur menjelang waktu fajar. Di mana waktu tersebut adalah waktu yang sangat mulia untuk ibadah. Dengan makan sahur, seseorang bisa bangun di akhir malam dan bisa melanjutkan kegiatan sahurnya dengan solat-solat sunnat, zikir, istighfar atau membaca Al-Qur’an. Seandainya tidak sahur, maka dimungkinkan tidak bisa beribadah di akhir malam tersebut.
Sungguh indah ajaran Islam. Berpuasa, tapi disuruh makan sahur. Maka walaupun siangnya tidak makan dan tidak minum, tapi shaim (orang yang berpuasa) tetap bisa bekerja dan produktif. Jadi sangat naïf, jika orang Islam tidak berpuasa di bulan Ramadlan ini dengan alasan takut tidak kuat bekerja. Dan sebaliknya, sungguh mulia orang Islam yang berpuasa walau kerjaan numpuk segudang. Perut boleh lapar, tenggorokan boleh haus, tapi jiwa tetap semangat. Insya Allah pahala akhirat didapat dan keuntungan dunia juga diperoleh. Dan itulah harapan kita semua, untung di dunia dan sukses di akhirat. Semoga kita termasuk orang-orang yang senang dengan ibadah puasa yang dijanjikan surga  oleh Allah swt. Amien.
Read More..

Membumikan Amalan Puasa

Ada tiga macam Ibadah dalam Islam. Pertama Ibadah dengan jiwa, kedua Ibadah dengan tenaga dan jiwa, ketiga ibadah dengan tenaga, jiwa dan harta. Berpikir positif adalah Ibadah dengan jiwa. Puasa dan shalat merupakan contoh ibadah dengan tenaga dan jiwa. Dan Ibadah haji/Umrah adalah Ibadah dengan tenaga, jiwa dan harta.
Orang puasa tidak membutuhkan harta. Karena puasa malah menahan agar tidak makan dan minum. Sedangkan berbuka dan sahur adalah pindahan dari kebiasaan makan saja. Dari siang dipindah ke malam hari. Jadi praktis orang yang berpuasa tidak membutuhkan modal sebagaimana Ibadah zakat ataupun haji.
Namun demikian syari’at tentang puasa bisa berdampak social yang tinggi. Betapa tidak, orang yang batal puasa karena hubungan suami-istri di siang hari misalnya, ia harus didenda membayar 60 mud (dibulatkan 60 liter) beras undtuk diberikan kepada fakir-miskin. Seorang Ibu yang tidak berpuasa karena hamil atau menyusui, kena denda membayar mud juga (atau seliter beras per hari). Seorang kakek yang sudah lanjut usia boleh tidak berpuasa dengan cara mengganti bayar mud seperti Ibu hamil tersebut.
Seperti dalam kisah Hadits Rasulullah riwayat Muslim, bahwa pernah ada seorang sahabat yang melapor kejadian di siang hari Ramadlan. Ia telah berhubungan suami-istri di siang hari, lantaran tidak tahan. Maka Rasulullah bertanya, al : Fa hal tajidu ma tut’imu sittina miskinan ? (Apakah kamu mempunyai makanan untuk diberikan kepada 60 orang miskin). Jadi orang tersebut dikenakan sanksi karena membatalkan puasanya dengan berhubungan suami – istri.
Pertanyaannya, apa hubungannya batal puasa dengan memberi makan orang miskin ? Hal ini seakan tidak nyambung. Tapi kalau kita renungkan lebih dalam, maka akan kita dapati bahwa puasa sasaran akhirnya adalah membentuk manusia-manusia yang tidak egois. Yaitu manusia yang mempunyai rasa empati terhadap kemiskinan atau kesusahan orang lain.
Dan hal ini sangat cocok dengan kondisi zaman sekarang. Betapa pincangnya antara kehidupan orang-orang kaya dengan orang miskin. Di samping gedung-gedung yang mewah dan menjulang, di sekelilingnya masih terdapat ribuan rumah-rumah reyot yang dihuni para fakir-miskin. Kehidupan yang amat timpang dari segi ekonomi. Semakin tak terkendalinya laju pertumbuhan kaya dan si miskin, seakan balapan. Si miskin bertambah miskin dan si kaya bertambah kaya.
Dan ibadah puasa inilah yang sebenarnya salah satu upaya dari Islam untuk menjembatani gep antara si kaya dan si miskin. Jadi Ibadah puasa bukan semata-mata ajaran langit, tapi juga ajaran bumi. Maksudnya Allah mengajak manusia agar mau hidup tolong-menolong di antara sesamanya. Al-Qur’an mengajarkan “Wa ta’awanuu alal birri wat taqwa.” Dan saling tolong-menolonglah dalam kebaikan dan taqwa.
Sikap saling tolong-menolong bisa tumbuh manakala seseorang telah merasakannya. Seperti puasa mengajarkan menahan lapar dan haus, sehingga mengajarkan rasa simpati kepada orang miskin yang lapar karena kurang makan. Dan orang yang mempunyai kelebihan makanan/harta  bisa berbagi kepada yang lebih miskin. Rasa simpatik dan empati inilah yang diharapkan tumbuh dalam setiap diri umat Islam yang berpuasa dengan benar. Dengan cara berbagi kail bukan berbagi ikan.
Selanjutnya orang-orang borjuis dapat berbagi permodalan kepada yang di bawah. Sehingga tata ekonomi kita bisa tumbuh bersama. Tidak hanya di kalangan si kaya saja, tapi juga kaum lemah bisa meningkat berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Dan itulah yang sebenarnya diajarkan dalam ekonomi syari’ah. Yaitu pemberdayaan ekonomi umat dengan cara saling menopang, saling menguntungkan, bukan dengan cara menindas seperti renteneer. Dan kini telah tiba waktunya umat Islam untuk bangkit merakit persaudaan ekonomi. Di samping persaudaraan tauhid.
Ibadah puasa Ramadlan ini  hendaknya menjadi inspirasi bagi para aghniya’ (pengusaha) untuk meningkatkan kerjasama permodalannya kepada pelaku usaha kelas kecil dan menengah. Sehingga melahirkan manusia-manusia yang kuat ekonominya dan kuat Imannya. Amien.

Read More..