Ada tiga macam Ibadah dalam Islam. Pertama Ibadah dengan jiwa,
kedua Ibadah dengan tenaga dan jiwa, ketiga ibadah dengan tenaga, jiwa dan
harta. Berpikir positif adalah Ibadah dengan jiwa. Puasa dan shalat merupakan
contoh ibadah dengan tenaga dan jiwa. Dan Ibadah haji/Umrah adalah Ibadah dengan
tenaga, jiwa dan harta.
Orang puasa tidak membutuhkan harta. Karena puasa malah menahan
agar tidak makan dan minum. Sedangkan berbuka dan sahur adalah pindahan dari
kebiasaan makan saja. Dari siang dipindah ke malam hari. Jadi praktis orang
yang berpuasa tidak membutuhkan modal sebagaimana Ibadah zakat ataupun haji.
Namun demikian syari’at tentang puasa bisa berdampak social yang
tinggi. Betapa tidak, orang yang batal puasa karena hubungan suami-istri di
siang hari misalnya, ia harus didenda membayar 60 mud (dibulatkan 60 liter)
beras undtuk diberikan kepada fakir-miskin. Seorang Ibu yang tidak berpuasa
karena hamil atau menyusui, kena denda membayar mud juga (atau seliter beras
per hari). Seorang kakek yang sudah lanjut usia boleh tidak berpuasa dengan
cara mengganti bayar mud seperti Ibu hamil tersebut.
Seperti dalam kisah Hadits Rasulullah riwayat Muslim, bahwa
pernah ada seorang sahabat yang melapor kejadian di siang hari Ramadlan. Ia
telah berhubungan suami-istri di siang hari, lantaran tidak tahan. Maka
Rasulullah bertanya, al : Fa hal tajidu ma tut’imu sittina miskinan ?
(Apakah kamu mempunyai makanan untuk diberikan kepada 60 orang miskin). Jadi
orang tersebut dikenakan sanksi karena membatalkan puasanya dengan berhubungan
suami – istri.
Pertanyaannya, apa hubungannya batal puasa dengan memberi makan
orang miskin ? Hal ini seakan tidak nyambung. Tapi kalau kita renungkan lebih
dalam, maka akan kita dapati bahwa puasa sasaran akhirnya adalah membentuk
manusia-manusia yang tidak egois. Yaitu manusia yang mempunyai rasa empati
terhadap kemiskinan atau kesusahan orang lain.
Dan hal ini sangat cocok dengan kondisi zaman sekarang. Betapa
pincangnya antara kehidupan orang-orang kaya dengan orang miskin. Di samping
gedung-gedung yang mewah dan menjulang, di sekelilingnya masih terdapat ribuan
rumah-rumah reyot yang dihuni para fakir-miskin. Kehidupan yang amat timpang
dari segi ekonomi. Semakin tak terkendalinya laju pertumbuhan kaya dan si miskin,
seakan balapan. Si miskin bertambah miskin dan si kaya bertambah kaya.
Dan ibadah puasa inilah yang sebenarnya salah satu upaya dari
Islam untuk menjembatani gep antara si kaya dan si miskin. Jadi Ibadah puasa
bukan semata-mata ajaran langit, tapi juga ajaran bumi. Maksudnya Allah
mengajak manusia agar mau hidup tolong-menolong di antara sesamanya. Al-Qur’an
mengajarkan “Wa ta’awanuu alal birri wat taqwa.” Dan saling
tolong-menolonglah dalam kebaikan dan taqwa.
Sikap saling tolong-menolong bisa tumbuh manakala seseorang
telah merasakannya. Seperti puasa mengajarkan menahan lapar dan haus, sehingga
mengajarkan rasa simpati kepada orang miskin yang lapar karena kurang makan.
Dan orang yang mempunyai kelebihan makanan/harta bisa berbagi kepada yang lebih miskin. Rasa
simpatik dan empati inilah yang diharapkan tumbuh dalam setiap diri umat Islam
yang berpuasa dengan benar. Dengan cara berbagi kail bukan berbagi ikan.
Selanjutnya orang-orang borjuis dapat berbagi permodalan kepada
yang di bawah. Sehingga tata ekonomi kita bisa tumbuh bersama. Tidak hanya di
kalangan si kaya saja, tapi juga kaum lemah bisa meningkat berjalan seiring
dengan pertumbuhan ekonomi. Dan itulah yang sebenarnya diajarkan dalam ekonomi
syari’ah. Yaitu pemberdayaan ekonomi umat dengan cara saling menopang, saling
menguntungkan, bukan dengan cara menindas seperti renteneer. Dan kini telah
tiba waktunya umat Islam untuk bangkit merakit persaudaan ekonomi. Di samping
persaudaraan tauhid.
Ibadah puasa Ramadlan ini
hendaknya menjadi inspirasi bagi para aghniya’ (pengusaha) untuk
meningkatkan kerjasama permodalannya kepada pelaku usaha kelas kecil dan
menengah. Sehingga melahirkan manusia-manusia yang kuat ekonominya dan kuat
Imannya. Amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar