"Welcome to LENTERA ISLAM" Semoga bermanfaat Happy Reading

Rabu, 02 Desember 2015

PUASA SEBAGAI PENENTU DO'A

Banyak orang merasa do’anya tidak terkabul. Mereka memohon-mohon kepada Allah swt. tapi tidak juga dikabulkan. Akhirnya banyak orang yang putus asa dan tidak mau berdo’a lagi. Hidupnya terasa hampa, tak punya sandaran, tak ada lagi tempat mengadu atau sekedar tempat curhat ( curahan hati). Pada hal Islam mengajarkan banyak cara untuk terkabulnya do’a. Salah satunya dengan wasilah berpuasa.
Memang faktanya puasa itu tidak mudah. Karena tugas puasa adalah meninggalkan sesuatu yang sudah biasa menjadi kebiasaan manusia. Seperti kebiasaan makan kenyang di siang hari. Minum dengan banyak, sampai tidak haus. Berhubungan sex (suami-istri) kapan saja mau, bisa dilakukan dengan mudah. Apa lagi bagi pengantin baru yang sedang hot-hotnya. Untuk menghentikan aktifitas yang semacam itu terasa amat berat bagi sebagian besar orang. Maka Islam tidak memerintahkan puasa sepanjang hari (siang-malam), tapi cukup di siang hari saja ( sejak terbit fajar sampai dengan terbenam matahari). Sedangkan di malam hari halal melakukan segala larangan makan, minum dan menyalurkan nafsu biologisnya.

Islam mengajarkan puasa dengan cara meninggalkan segala jenis nafsu. Khususnya nafsu makan, nafsu minum (kebutuhan perut) dan nafsu rafats (sex) atau kebutuhan bawah perut. Dan dalam istilah agama disebut mujahadah. Berjihad (berjuang) melawan hawa nafsu. Dan menurut Rasulullah saw. bahwa jihad melawan hawa nafsu (jihadun nafsi) adalah perang yang paling besar (jihad ’l akbar) dibanding perang melawan musuh yang berupa manusia atau hewan.
Wasilah do’a
Dalam Q.S. Al-Baqarah : 153, telah dijelaskan dengan tegas bahwa Allah swt menyuruh manusia agar minta pertolongan dengan perantaraan puasa dan shalat. ”Wahai orang-orang yang beriman ! Mohonlah pertolongan (kepada Allah swt.) dengan sabar dan shalat. Sungguh Allah bersama orang-orang yang sabar. Maka minta tolong kepada Allah (berdo’a) harus dengan penuh kesabaran. Sabar dalam menghadapi berbagai ujian dan rayuan hawa nafsu.
Demikian ini sejatinya puasa adalah ajaran untuk meninggalkan segala macam nafsu negatif. Sehingga yang ada di dalam diri manusia tinggal nafsu positif. Yaitu nafsu ’l muthmainnah, nafsu yang bersih dan suci. Logika wajarnya, kalau akan menghadap kepada Yang Maha Suci, Allah swt. maka kita pun harus dalam keadaan suci pula. Agar komunikasinya nyambung dengan lancar. Ibaratnya seperti orang yang akan menghadap atasan (pejabat tinggi). Maka terlebih dulu harus membersihkan dirinya.
Dalam Q.S. Al-Baqarah : 186 juga terlihat jelas bahwa konteks ayat tersebut (munasabatul ayat) dengan ayat sebelumnya adalah tentang perintah do’a setelah perintah berpuasa Ramadlan. Setelah Allah swt. menjelaskan tentang kewajiban puasa Ramadlan ( Q.S. Al-Baqarah : 183-185), kemudian menjelaskan tentang terkabulnya do’a. Seakan informasi itu berbunyi : ”Allah swt mengabulkan do’a setelah seseorang menyelesaikan tugas puasa. Karena puasa di samping membersihkan hati dari noda-noda nafsu, juga melatih mental yang tangguh dan mental yang sabar. Sabar berdo’a terus menerus sampai terasa bahwa do’anya telah dikabulkan oleh Sang Maha Suci (Allah swt).
Do’a yang Benar
Bagaimana mungkin do’a yang tidak benar, bisa terkabul. Pada hal Allah swt. telah menjelaskan : ”Berdo’alah kepada-Ku, niscaya aku kabulkan.” dan ”Aku kabulkan permohonan orang yang apabila dia berdo’a kepada-Ku.” (Q.S.Al-Baqarah : 186). Rasulullah saw. juga telah bersabda :”Ada tiga do’a yang tidak tertolak : (di antaranya) adalah do’a orang yang sedang berpuasa selama ia belum berbuka.”
Itu artinya , do’a siapapun akan dikabulkan; asal memenuhi syarat-syaratnya. Atau do’a yang benar. Dan do’a yang benar adalah do’a yang dilakukan dengan baik dan khusyu’. (Khusyu’ adalah percaya bahwa apa yang dia mohon didengar oleh Allah swt. dan dikabulkannya.) sebagaimana terdapat dalam Hadits Qudsi :”Ana inda dzanni abdi bie”: Aku ada dalam sangkaan hamba-Ku kepada-Ku.” Untuk mencapai hal itu, maka ia harus mendekat kepada Allah swt. Semakin dekat kepada-Nya, maka semakin mungkin terkabulkan.


Pertanyaannya adalah : Bagaimana caranya ? Tentu saja dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh Allah swt. Firman-nya : ”Innallaha ma’as shaabirien : Sungguh Allah itu bersama orang-orang yang sabar.” Dalam pengertian , orang yang sabar pasti dilindungi oleh Allah, ditemani dalam susah, dibantu dalam berat, diberi kekuatan jika tidak mampu, diberi jalan keluar jika dirundung jalan buntu. Dan mengatasi masalah dengan kekuatan Allah. Sebab kalau dengan kekuatan manusia saja, tentu tidak akan mampu. Sebab kekuatan manusia serba terbatas.
Wal-hasil, do’a yang benar adalah do’a yang di dalamnya menyertakan Allah swt. Artinya disertai dengan Iman yang kuat. Merasa bahwa ia benar-benar bersama Allah Yang Maha kuat, Yang Maha mengasihi, Yang Maha menyayangi dan segala macam Maha yang sampai pada Maha Esa. Hanya dia-lah yang mampu menyingkap segala penderitaan dan kesulitan. Demianlah uraian singkat tentang puasa dan do’a yang tidak terpisahkan. Tiada do’a yang terkabul , tanpa disertai keprihatinan. Dan puasa adalah salah satu bentuk keprihatinan, baik disengaja ataupun tidak sengaja. Semoga Puasa kita semua menjadi bagian dari proses terkabulkan segala do’a dan permohonan kepada-Nya. Karena tak ada makhluk yang tidak perlu do’a. Dan hanya Allah-lah tempat kita mengadukan segala kebutuhan kita, baik kebutuhan duniawi maupun kebutuhan ukhrawi. Wallahu a’lam bis sowab.


Oleh : K. H. Drs. A. Mahfudz Anwar, MA

( PD. MUI Kota Depok)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar