Tradisi
adalah adat kebiasaan yang turun menurun dijalankan di tengah-tengah
masyarakat. Dalam pandangan Islam, tradisi itu ada yang baik/mulia (al-‘Urf al
Shahih) dan ada yang buruk (al’Urf al-fasid). Kegiatan tahunan seperti larung
laut, membuat sesajen yang digantung di tiang pelampang pada waktu hajatan,
injak telur ayam oleh penganten pria pada saat temu penganten putri, memakai kerudung
berdua saat menjelang dan sedang ijab qabul, adalah termasuk tradisi buruk.
Sedangkan tradisi memperingati Maulid nabi, membaca al-Qur’an atau Tahlilan
pada saat kematian, istighotsah (do’a mohon pertolongan Allah) pada saat
dilanda bencana, selamatan (mengundang tetangga untuk makan-makan), adalah
termasuk tradisi baik.
Pesantren digolongkan sebagai komunitas tradisional,
karena Pesantren berpegang teguh pada tradisi. Banyak tradisi di dalam
kehidupan Pesantren yang hingga hari ini menjadi kegiatan pokok. Dan pada
umumnya Pesantren di Indonesia masih kental dengan tradisi-tradisi yang hampir
sama dengan tradisi di masyarakat. Karena memang Pesantren tumbuh dari
masyarakat. Seperti kegiatan baca Rawi (Riwayat/sejarah Nabi saw.) atau Maulid
Diba’, Barzanji, Syaroful Anam, dll, Baca Yasin dan tahlil setiap malam Jum’at,
pakai gamis atau baju koko putih bila solat Jum’at, Sholawatan (do’a dan
puji-pujian untuk Nabi saw), Wiridan, dll.
Kegiatan sejenis Tahlilan dll. merupakan tradisi turun
temurun yang ternyata menjadi sarana efektif untuk melancarkan Dakwah
Islamiyah. Betapa tidak, para Ulama’, para Auliya’, para Habaib, Kiai, Ajengan,
Tuan Guru, dsb. telah berhasil mengislamkan masyarakat Indonesia dari Hindu –
Budha dan animis menjadi Islam
mayoritas. Dan Islamisasi yang dilakukan oleh para Wali Songo merupakan
prestasi yang luar biasa dalam pelaksanaan Dakwah Islamiyah di Pulau Jawa.
Tanpa ada kekerasan dan pertumpahan
darah. (bandingkan dengan orang-orang Eropa yang telah memaksakan agama Nasrani
dengan segala bentuk kekerasan dan penjajahan yang gagal meraih simpati
penduduk Indonesia).
Para tokoh spiritual Muslim Tradisional seperti para
Kiai NU (Nahdlatul Ulama) sangat kuat memegang tradisi religiusnya. Sehingga
dalam kegiatan kesehariannya yang bersifat spiritual bisa dirasakan dan
diindera. Tidak seperti pandangan tokoh-tokoh lain yang memandang spiritual
sebagai sesuatu yang abstark. Karena dengan rasa spiritual yang nyata dan
faktual dapat menimbulkan rasa bangga sebagai orang muslim. Sebagai contoh,
para santri, asatidz, Kiai, Ajengan sangat bangga dengan pakaian khasnya,
seperti sarung, baju koko, dan berpeci. Dari identitas inderawi itulah yang
membuat darah kemuslimannya mengalir dalam aktifitas Dakwah Islamiyah.
Jepang dengan berbagai tradisi leluhurnya telah
berhasil memajukan bangsa dan negaranya. Tidak sekedar baju Kimono, atau olah
raga Sumo, tapi juga beragam tradisi spiritual yang diusung sebagai pondasi
pengembangan teknologi industrinya. Dan ternyata bangsa jepang mampu bersaing
dengan bangsa Barat tanpa kehilangan tradisinya. Demikian juga bangsa Indonesia
yang sedang melakukan berbagai perubahan dalam berbagai aspek pembangunan,
tetap berpijak pada tradisi lokalnya. Dan keberhasilan pembangunan Indonesia
justru terletak pada sektor-sektor yang beriringan dan sejalan dengan tradisi.
Atau biasa disebut dengan kearifan lokal. Lingkungan yang ramah dan bersahabat dengan
masyarakat di suatu daerah lantaran tradisi masyarakat local yang kental dengan
tradisinya. Seperti anti pencemaran lingkungan, tidak menebang pohon sebelum
usia pohon itu ratusan tahun, tidak mau meracun air sungai atau setu dll.
Demikian juga Rasulullah saw. dalam banyak hal sangat
menghormati aktifitas yang telah mentradisi di kalangan bangsa Arab. Seperti
Ibadah Thawaf yang merupakan perintah Allah swt. adalah merupakan salah satu
tradisi bangsa Arab sebelum Islam datang. Kemudian diabadikan dalam islam
dengan format baru. Mengelilingi Ka’bah tetap dipertahankan, tapi isi dan
essensinya diganti. Kalau masyarakat jahiliyah mengelilingi Ka’bah dengan
bernyanyi-nyanyi dan bertepuk-tepuk tangan, maka islam mengelilingi Ka’bah
dengan berdo’a kepada Allah swt.
Dari fakta-fakta yang ada sebenarnya dapat dikatakan
bahwa kemajuan bangsa Indonesia akan diperoleh manakala proses pembangunan
sejalan dengan tradisi khas Indonesia, bukan nyontek (copy-paste) dari Barat
yang terbukti keropos nilai-nilai kemanusiaannya. Dan Pesantren adalah salah
satu pilar bangsa ini dalam mengemban misi tradisionalnya. Dengan demikian
Pesantren bukan saja sebagai penyeimbang, tapi justru pilar utama dalam upaya
penyelamatan bangsa dari kemajuan (keterpurukan) modernisasi.
Dan pada gilirannya Para pegiat pesantren akan dapat
menjabarkan segala kegiatan religiositas para santri ke dalam nilai-nilai kehidupan.
Dan secara bersamaan masyarakat merindukan Pesantren sebagai pondasi pendidikan
anak-anaknya sebelum memasuki dunia Perguruan Tinggi atau Universitas. Dengan
begitu Pesantren harus mampu memberikan Ilmu-ilmu dasar yang sangat variatif
untuk dilanjutkan dan dikembangkan di Perguruan Tinggi manakala para alumninya
telah memasuki dan memilih fakultas-fakultas yang sesuai dengan bakat dan
minatnya. Dan kecenderungan masyarakat untuk memasukkan anak-anaknya kini bukan
dominasi masyarakat pedesaan, tapi justru masyarakat perkotaan, kaum
Intelektual, professional dan kaum cendekiawan. Karena mereka melihat
nilai-nilai kepesantrenan mampu menjadi kekuatan yang handal dalam memenej
potensi dirinya. Sehingga lulusan Pesantren cenderung berhasil menyelesaikan pendidikan/kuliahnya
disbanding anak-anak di luar Pesantren. Wallau a’lam bis shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar