Potong Ayam

Telah dikisahkan :  Konon di sebuah Pesantren  Salaf (tradisional) yang letaknya di dusun yang jauh dari keramaian. Bahkan posisinya di lereng gunung, di balik pepohonan nan menghijau. Tinggal ribuan santri di kobong-kobong yang didirikan oleh seorang Kiai yang terkenal alim dan waro’ di daerahnya. Tak begitu lama dari pendiriannya sudah dikenal di seantero wilayah. Santrinya datang dari mana-mana. Laki-laki dan perempuan.

Sang Kiai dari awal hingga Pesantren menjadi besar tidak pernah meninggalkan kebiasaan mengajar langsung kepada para santri. Terutama kitab-kitab Tauhid. Mulai dari aqidatul Awam, Husunul Hamidiyah, al-Milal wa al-Nihal-pun diajarkan sendiri kepada para santrinya. “Saya harus mengajarkan langsung kitab Tauhid ini”, kata Pak Kiai suatu sa’at. “Agar anak-anak yang belajar di Pesantren ini aqidahnya lurus dan benar”, lanjutnya.

Suatu ketika tibalah pada bab Iman kepada Allah swt. Dan di antara sifat wajib Allah adalah Maha Mengetahui. Artinya bahwa Allah swt. itu mengetahui apa saja baik di bumi maupun di langit. “Di mana saja kita ini berada,  selalu dilihat oleh Allah”. Baik di tempat terbuka maupun tersembunyi. Bahkan semut hitam yang berjalan di atas batu hitam dalam kegelapan malam pun, Allah pasti melihatnya. Dan anak-anak santri pastilah telah mendengar pelajaran ini. Hanya saja apakah mereka selalu ingat inti pelajaran ini, atau tidak;  itu, masalah lain. Yang penting mereka sudah pernah belajar.

Selang beberapa tahun kemudian Sang Kiai ini melihat anak gadisnya yang cantik jelita sudah menginjak usia remaja. Layaknya gadis-gadis pada umumnya, kalau sudah tampak dewasa, maka orang tua manapun ingin segera mencarikan pendamping (calon suami). Tapi sudah barang tentu pasti akan mencari calon menantu yang baik dan cocok untuk putri kesayangannya. “Dari pada mencari menantu yang belum jelas asal-usulnya”, pikir Sang Kiai. “Kan banyak santri yang baik-baik budi akhlaqnya”, tambahnya. Tapi bagaimana cara memilihnya ?”

Akhirnya di malam hari setelah shalat Istikharah, Sang Kiai mendapat ide untuk memilih calon menantu yang baik dan berkualitas. Pada ke-esokan harinya, seluruh santri laki-laki yang senior dikumpulkan di ruang Aula Pertemuan. Sang Kiai mengumumkan maksudnya. Bahwa Sang Kiai akan mencari calon menantu yang akan dijodohkan dengan putri semata wayangnya yang cantik jelita.

“Barang siapa bisa memotong ayam dengan baik dan benar, maka akan aku beri hadiah yang besar”. Kata Sang Kiai semangat. “Hadiah apa, Pak Kiai ?” Kata para santri serempak. “Hadiahnya akan saya ambil menantu”, lanjutnya. Para santri pun bergembira, karena hadiah yang dijanjikan tersebut.

“Tapi ada syaratnya, “ kata Sang Kiai. “ Apa syaratnya, Pak Kiai ?”, Tanya sebagian santri yang sudah tidak sabar lagi. “Syaratnya : siapa  yang  bisa  memotong seekor ayam dalam keadaan tidak ada yang melihatnya, maka dialah yang lulus.” Dan siapa yang lulus, maka dialah calon menantu saya.” lanjut Sang Kiai.

Para santri pun bersemangat membeli seekor ayam untuk dipotong. Dan masing-masing menyebar ke berbagai tempat yang kiranya tak ada seorang pun bisa melihat proses penyembelihan ayam tersebut. Ada yang memotongnya di belakang gedung sekolah. Ada yang memotong di balik semak-semak ilalang. Ada yang memotong ayamnya di bawah rerimbunan pohon jagung. Dan berbagai macam cara mereka tempuh.

Setelah itu, para santri satu persatu datang kembali menemui Sang Kiai dengan penuh kegembiraan . Ada yang tersenyum gembira, ada yang tertawa-tawa dan ada pula yang bersiul-siul kegirangan. Semuanya menenteng ayam yang sudah mati dipotong dengan Bismillah. Dalam hati mereka berkata, “pasti saya yang lulus.” Karena saya telah memotong ayam ini dengan sembunyi-sembunyi yang pasti tidak ada yang melihatnya.” Begitu gumamnya sebagian mereka.

Tapi aneh, ada satu santri yang masih membawa kembali ayamnya masih dalam keadaan hidup dan berbunyi” kok kok kok,,,” Sambil berjalan gontai sedih, dia berjalan menuju Sang Kiai untuk melapor, bahwa dia tidak bisa memotong ayamnya, walaupun sudah berusaha sembunyi di mana-mana.

Satu persatu santri itu melaporkan proses pemotongan ayamnya kepada Sang Kiai. Dan mereka pun ditanggapi dengan baik. Walau sebenarnya Sang Kiai tahu kalau mereka tidak lulus. Setelah melapor, mereka bersorak kegirangan. “Aku bisaa”, teriak mereka, setiap usai melapor.

Sementara satu santri yang bernama Sobri gugup menghadap Sang Kiai. “Sa, sa, sa…saya mohon ma’af Kiai” Kata Sobri gemetar. “Kenapa kamu ? Kok ayam mu masih belum kamu potong ?”

“Ya, Kiai, “ kata sobri lirih. “Saya tidak bisa memotong ayam ini, walau saya sembunyi di mana pun. Saya sudah berusaha sekuat tenaga untuk ngumpet. Tapi saya merasa masih ada yang melihat saya. Yaitu Allah swt. Jadi saya tidak bisa memotongnya”, kata Sobri selanjutnya. Teman-temannya bersorak : Huuuu….” Dassarr….”

“Tenang, tenang,” kata Sang Kiai. Sekarang pada gilirannya saya umumkan siapa pemenangnya?.” Kata Sang Kiai sambil diam sejenak. “Pemenangnya adalah…. Soobrii…”

Mengapa Sobri yang lulus ? Sebab Sobri-lah yang ingat bahwa Dia selalu dilihat oleh Allah swt. Sehingga tidak bisa memotong ayam, tanpa ada yang melihatnya. Dan dia benar-benar jujur atas kejadian yang dia alaminya. Maka Sobri-lah yang berhak menjadi menantu saya,” kata Sang Kiai gembira.

Catatan : Cerita ini merupakan cerita turun temurun di pondok-pondok pesantren. Dan ini kisah fiktif, sebagai ilustrasi pelajaran keimanan kepada Allah swt.