"Welcome to LENTERA ISLAM" Semoga bermanfaat Happy Reading

Rabu, 16 Juni 2010

Toleransi Beragama Vs Penodaan Agama



Bebarapa LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ) yang mengatasnamakan masyarakat tertentu sangat getol menuntut agar Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang penyalahgunaan dan atau penodaan agama segera dicabut. Alias tidak boleh dipergunakan lagi kepada siapapun walau perbuatannya dikategorikan menodai agama, yang kemudian cenderung menimbulkan konflik horizontal. Bahkan mereka sampai melakukan langkah-langkah hukum dengan mengajukan gugatan kepada MK (Mahkamah Konstitusi). 


Mereka beralasan demi kebebasan beragama. Maka mereka menuntut agar Undang-undang tersebut tidak diberlakukan lagi. Padahal kalau dicermati, alasan mereka itu justru tidak sesuai dengan tujuan Undang-undang manapun, apalagi aturan agama, yaitu untuk melindungi agama yang ada ( wiqayatu ’l Dien) dan para pemeluknya.

Seperti telah kita ketahui bersma bahwa UUD 1945 telah mengatur dan menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga negara Indonesia. Tapi di samping itu kita juga harus paham bahwa agama yang dilindungi oleh negara hanya ada 6 agama yang diakui keberadaannya. Yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu. Sementara agama-agama yang lain seperti Yahudi tidak diakui eksistensinya di negeri ini. Demikian juga aliran kepercayaan atau kebatinan yang tidak berdasar kitab suci (samawi) tidak diakui sebagai agama, tapi hanya sebatas budaya yang diatur pembinaannya oleh Departemen kebudayaan.
Dalam Undang-undang No.1/PNPS/1965 tersebut dibuat dengan tujuan untuk melindungi umat beragama agar tetap dapat menjaga kemurnian ajarannya serta akidah serta keyakinannya masing-masing. Di samping untuk menjaga keharmonisan hubungan antar pemeluk agama satu dengan agama lain, dan antar sesama pemeluk suatu agama. Dan hal itu sebenarnya yang diinginkan oleh semua pemeluk agama. Maka menimbulkan pertanyaan besar jika ada pemeluk agama, mempersoalkan undang-undang yang justru melindungi agamanya.


Pandangan Islam.
Islam sangat menghormati umatnya dan menghormati pemeluk agama lain. Namun demikian Islam tetap memberlakukan etika beragama dan hubungan antar agama atau lintas agama. Contoh Q.S.Al-Kafirun, ayat 1 -  6, jelas-jelas melarang Rasulullah saw. Untuk menyembah sesembahan orang Kafir (non muslim) dan orang Kafir tidak perlu menyembah sesembahan orang Islam. ”Lakum dienukum waliya dien : Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”
Q.S.Al-Kafirun tersebut bermula menjawab ajakan orang non muslim kepada nabi Muhammad saw untuk join dalam peribadatan atau kompromi dan aqidah. Maka dengan tegas Allah swt. Melarang Nabi saw beserta umatnya untuk kompromi (win-win solution) dengan orang Kafir. Jadi Islam mengajarkan hidup berdampingan dalam bingkai Binneka Tunggal Eka, berbeda agama tapi bisa hidup dalam satu negara yang bernama Indonesia.
Dan itulah semangat Islam yang ditampilkan untuk bersatu dan menjamin toleransi kepada agama lain. Membolehkan umat lain menjalankan ajaran agamanya sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Yang penting tidak mengganggu umat Islam baik fisik maupun non fisik.
Oleh karena itu Al-Qur’an sebelum mengajak orang lain, terlebih dulu mengajarkan umatnya agar tidak mengganggu agama lain. Seperti Firman Allah swt. Dalam Q.S. Al-An’am : 108, artinya ” Dan janganlah kamu sekalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah. Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas dan tanpa pengetahuan.”
Jadi Islam itu mengajarkan kepada pemeluknya agar menghormati agama lain dengan tanpa mengurbankan aqidahnya sendiri. Demikian juga sikap yang seharusnya dipegangi oleh orang-orang non muslim agar juga mau menghormati keberadaan umat Islam. Apalagi sesama warga negara Indonesia yang mempunyai kedudukan dan derajat yang sama di depan hukum dan dalam memperoleh keadilan.

Kepentingan Bersama.
Dengan jelas dikatakan dalam UU Nomor 1/1965 tersebut bahwa yang dilarang adalah dengan sengaja menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran yang bertentangan dengan pokok-pokok ajaran sesuatu agama yang dianut di Indonesia. Artinya kalimat  tersebut menunjukkan adanya unsur profokasi dan promosi atas penafsiran yang salah atau yang lazim disebut aliran sesat. Juga berarti, kalau diamalkan sendiri tanpa mengajak orang lain, mereka itu tidak dapat dikenakan pasal ini (pasal 1 UU no.1/PNPS/1965).
Dalam sejarah Islam juga dijumpai fakta Rasulullah saw. Mengambil sikap tegas kepada orang-orang munafiq, kepada nabi-nabi palsu atau orang yang bukan nabi tapi mengaku menjadi nabi atau mangaku mendapat wahyu. Bahkan semasa Abu Bakar As-Shddieq r a. Menjabat Khalifah pertama (dari Khulafaur Rasyidin) pernah secara resmi memerangi  orang yang mengaku menjadi nabi , yaitu Musailamah Al-Kazzab dan para pengikutnya hingga banyak pahlawan yang berguguran.
Kenapa Nabi-nabi palsau itu diberantas ? Sebab membuat penafsiran agama tidak sesuai dengan prinsip yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Kedua disebabkan akan menyesatkan umat beragama. Karena mereka melihat Nabi palsu seperti nabi yang benar baik dari segi sikap maupun ucapan-ucapannya. Yang bisa diibaratkan musang berbulu ayam. Sehingga banyak orang awam yang akan terjebak ke dalam perangkap pemikiran dan perilaku orang-orang yang mengaku-ngaku jadi nabi. Seperti yang dilakukan oleh Musadeq dari Tanah Baru, Beji,Depok, Aliran Satrio piningit, Lia Eden dll.
Dengan melihat kasus- kasus penodaan agama yang tidak hanya terjadi pada agama Islam saja, tapi juga dalam agama-agama selain islam. Maka demi keperntingan eksistensi agama yang ada di Indonesia ini, perlu pengaturan yang dapat mencegah terjadinya benturan antar umat. Dan itulah esensi dari Undang-undang nomor 1/PNPS/1965 tentang penodaan Agama yang sudah berjalan efektif selama ini di negeri yang religius ini. Semoga tetap terjalin keharmonisan antar umat beragama. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar