"Welcome to LENTERA ISLAM" Semoga bermanfaat Happy Reading

Minggu, 13 Juni 2010

Cinta di Gedung Tua



         Awan putih bergulung-gulung. Seakan berkerja satu sama lain. Berlari ke arah barat. Dari Syi’eb Amer menyeberangi Ka’bah menuju arah Aziziyah. Sesekali melihat burung Dara Fatimah melayang-layang diatas Ka’bah. Menambah cantiknya pemandangan kota Mekah manakala Maghrib menjelang. Manusia berpakaian serba putih berbondong-bodong melewati jalan raya dan gang-gang sempit di pasar Seng. Arahnya satu, yaitu mendatangi masjid besar, kota Mekah.
        Sementara disekitar ka’bah sudah dipenuhi dengan hantaran manusia berputar-putar mengilingi Ka’bah. Kalau dilihat dari atas, maka akan tampak seperti kue bundar yang ditabuhi susu putih melingkar. Atau seperti hamparan sajadah putih melingkupi Masjidil Haram. Begitu kumandang adzan mengalun, tak lama kemudian shalat Maghrib dimulai. Suara imam besar Syekh Abdurahman terdengar merdu mengimami shalat yang terdengar di seantero kota mekah.

Sore itu aku tidak dapat mengatarkan jama’ah asal Indonesia seperti hari-hari sebelumnya. Kebetulan tugas yang padat akhirnya membuat badanku lemah. Aku memutuskan shalat berjama’ah di Masjid Al-Qamr yang ada kampung Syi'eb Amir. Karena kebutulan muadzin rutin masjid Al-Qamar sedang sakit. Maka dengan sukarela aku menberanikan diri untuk adzan. Seperti yang biasa Aku lakukan ketika di Indonesia. Siapa saja yang mau, boleh adzan tanpa harus ada izin dari siapapun.
Tiba-tiba usai shalat magrib Syekh Harakan sesepuh masjid Al-Qamar mendekati aku, lalu dia berkata: ”Thoyyib anta”. Sambil menepuk-nepuk pundaku selalu memuji sura azanku yang menurutnya cukup bagus. Sehinga dia memintaku agar aku menjadi muadzin tetap, khusus waktu Magrib dan 'Isya. Tawaran itu merupakan anugerah yang luar biasa bagiku. Karena Aku tahu bahwa untuk menjadi muadzin tetap disuatu masjid di tanah Suci Mekah tidak mudah. Meski melalui seleksi yang ketat dari tokoh-tokoh setempat. Bukan hanya suaranya yang harus merdu, tapi juga sopan santun dan akhlak kesehariannya.

Tawaran itupun Aku diterima dengan senang hati dan Aku jalani setiap waktu sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh pengurus masjid. Bahkan tidak itu saja, Akupun sering diminta menjadi badal untuk menggantikan Syekh Harakan membaca kitab Fathul Qarib setiap ba’da Maghrib sampai waktu ’Isya tiba. Dan aku melaksanakan tugas itu dengan suka cita. Disamping sesekali Aku dipanggil ke rumahnya untuk makan malam.
”Ana aqulu laka, Syukran”, kata Syekh Harkan suatu saat mengawali dialog sambil makan malam. Seperti kebiasaan orang Arab, makanan sehari-harinya adalah roti seperti pizza ditemani dengan beberapa lauk-pauk berupa gulai kambing muda, sayur-sayuran yang dimasak dengan minyak Zaitun, ikan laut basah yang sudah diambil duri-durinya dimasak dengan salad dan susu kental. Dan bermacam-maca buah pisang, apel dan jeruk juga minumnya anggur serta minuman kelas Arab, sari buah Kurma Ajwa’( kurma yang paling bagus dari Madinah).

Pembicaraan sampingan pada makan malam itu, sampailah akhirnya Syekh meminta kepadaku apa aku bersedia menikahi putri tunggalnya ”Zahrat”. Betapa kagetnya, ketika mendengar tawaran untuk menikah. Bagikan disengat listrik sekujur tubuhku terasa bergetar dan bulu kuduku berdiri. Terasa merinding antara percaya dan tidak. Sebab selama ini aku sudah melihat putrinya, ”Zahrat” adalah gadis yang sangat cantik dan terkenal di Kota Mekah. Mungkin tak satupun pemuda arab yang tak kenal siapa itu ”Zahrat”.
Suatu ketika aku pernah mendengar ada keluarga terpandang di Kota Mekah yang berserteru gara-gara masing-masing ingin menjondohkan puteranya dengan zahrat. Dan Syekh Harakan pun tidak menerima salah satu dari pemuda yang datang melamarnya. Hingga terdengar kabar kalau ”Zahrat” adalah putri yang tinggi dan mahal di mata penduduk Kota Mekah.
# # #
Hari demi hari terus berjalan, hubunganku dengan Syekh Harakan semakin dekat saja. Tidak sekerdar hubungn antara murid dan guru, tapi lebih dari itu aku sudah dianggap seperti keluarga besarnya. Suatu ketika aku diminta oleh Syekh memimpin rombongan keluarga besarnya melakukan ibadah umrah yang dimulai dari Miqat Jamrah sampai Thawaf, Sa'i, dan Tahalul berjalan dengan lancar dan mulus. Semua rombongan umrah sangat gembira bersamaku. Hal itu terbukti pada saat Tahalul. Mereka mencukur rambut dengan perasaan gembira.
Tapi tidak dapat dipungkiri lagi kalau di samping kegembiran keluarga Syekh Harakan ada satu keluarga yang selama ini berseteru yaitu keluarga Saudagar Bani Qurthi. Mereka sangat cemburu terhadapku. Terlebih Syekh Harakan, mengucapkan kepadaku memipin ronbongan Syekh untuk umrah. Kalu tidak ada pertolongan Allah SWT. mungkin aku dan rombongan sudah mati semua.

”Astagfirullah...”, Teriak Ibu-ibu dan semua yang ada di dalam kendaraan yang aku tumpangi. Disaat kendaran, melaju antara Jara’nah ke Mekah,tiba-tiba ada Mobil Volvo yang mengebut zig-zag mendahului kendaranku.
Untungnya sopir mobil Syekh Harakan sudah sangat menguasai medan. Meskipun mobil di hadang dengan zig-zag tetap saja bisa berjalan dengan baik dan lancar. Walaupun sempat tergores dan lampu sebelah kanan pecah akibat beturan dengan Mobil Volvo tersebut.
Gema Talbiyah terus menerus berlangsung di dalam kendaraan rombongan Umrah. Selama dalam perjalanan aku pimpin rombongan untuk meperbanyak bacaan Talbiyah. "Allahuma labaik" tidak hentinya-hentinya rombonganku membaca Talbiyah sambil berdo’a meminta perlindungan kepada Allah. Agar ibadah Umrah benar-benar berjalan sesuai dengan kehendak iradah Allah.
# # #
Sesampainya di jalan Kahfi dekat gedung maulid nabi yang mendekati Masjidil Haram, tiba-tiba banyak orang berkurumun mengerebuti Mobil Volvo yang terbalik. Ternyata mobil yang mengalami kecelakan hebat tersebut adalah mobil Bani Qurthi yang dikendarai Abdul Khohar, putra saudagar kaya yang berjalan zig-zag menghalangi mobil rombonganku tadi.
Aku dan rombongan pun segera turun melihat kerumunan orang tersebut. Alangkah terkejutnya aku dan rombongan setelah melihat penumpang mobil Volvo tersebut. Semua luka parah dan bersimbah darah. Tak satupun diantara mereka yang selamat. Aku hanya mampu mengucap kalimat ”Innalillahi”.
Karena waktu Umrah harus berjalan terus, rombonganku pun berjalan melanjutkan ritual Umrah dengan memasuki Masjidil Haram melalui pintu ”Babussalam” seperti yang disunnahkan oleh Nabi SAW. lalu mendekati Ka’bah melakukan ibadah thawaf tujuh kalli dan diakhiri dengan mencium Hajar Aswad,yang di sinyalir adalah batu khusus yang didatangkan dari Surga. Dimana ada dua macam batu yang di istemewakan. Yang pertama Hajar Aswad yang dipasang di salah sartu sudut Ka’bah dan yang kedua didatangkan dari Neraka Sijjil yang di bawa burung- burung Ababil untuk menyerbu pasukan Gajah yang akan menghancurkan Ka’bah.

Usai menjalankan Thawaf menjelang ibadah Sa’i tiba-tiba datang seorang teman sekolah dulu dari kampung Norogon di Indonesia. Dia menyampaikan kabar kalau Ibuku yang sudah lama ditingal mati oleh Ayah sepuluh tahun yang lalu kini sedang menderita sakit yang parah. Maka aku disuruh pulang.
Berita itu sengaja aku simpan dan tidak Kuberitahukan kepada jama’ah. Takut mengganggu kekhusyu’an ibadah Umrah meraka. Baru seminggu kemudian Aku sampaikan kepada Syekh Harakan dan Putri Zahrat kalau Aku dalam mingu-mingu ini harus pulang ke Negri asalku Indonesia. Ibuku satu-satunya orangtua yang Aku miliki dan Aku membiarkannya sedang sakit keras.

Dengan perasaan yang amat sedih keluarga Syekh mengantarkan Aku ke Bandara King Abdul Aziz dengan pelayanan yang amat istimewa. Berbagai macam oleh-oleh mereka persiapkan untuku dan keluargaku. Hanya kata perpisahan ”Ilaliqa’”.dan ”Ma’salamah”yang mewarnai perpisahan antara Aku dan keluarga Syekh Harakan.
Disaat itu aku lihat Putri Zahrat hanya meneteskan air mata sambil melambaikan tangan di samping Abah dan Uminya di pelataran Bandara. Kekakuanku tak mampu menjawab kalimat apapun atas kebaikan keluarga Syekh Harakan. Kini yang kuingat hanya gedung tua yang kekar dan kokoh dikampung Syi’eb Amir yang selama ini banyak mewarnai kehidupanku selama Aku di Negri Arab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar