"Welcome to LENTERA ISLAM" Semoga bermanfaat Happy Reading

Jumat, 21 Mei 2010

Kerudung Warna Jingga

*dimuat di koran Monitor Depok


            Seperti biasanya setiap malam jum’at para remaja puteri berkumpul di surau pak Tohari. Mereka memang rutin membaca riwayat Nabi SAW. yang diistilahkan sebagai diba’an. Demikian juga aku malam itu aku turut serta datang ke surau untuk Jam’iyah Diba’an. Sampai pukul sembilan malam acara sudah selesai. Tapi setelah itu aku dan kawan–kawan tidak boleh langsung pulang oleh pak Tohari. “Anak-anak, jangan pulang dulu,” katanya sambil berdiri di pintu Surau.
           Aku sudah merasa tak enak antara berani dan tidak untuk bertanya kepada pak Tohari. Semua menyimpan tanda Tanya. Sampai-sampai ketan bungkusan daun pisang yang dihidangkan kepada peserta diba’an tak ada yang membuka. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, kalau selesai diba’an langsung berebut duluan membuka bungkusan untuk dimakan sampai habis. Terkadang malah ada yang saling minta punya temannya. Dan itu biasa bagi teman-teman seperkumpulan diba’an, untuk saling berbagi konsumsi. Pertanda keakraban.


             Tapi sangat berbeda situasinya malam itu. Agak was-was dan mencekam. Tiba-tiba pak Tohari muncul lagi di pintu surau setelah beberapa saat tidak kelihatan.

“Malam ini kita mengadakan pengisian,” katanya dengan wajah serius, lalu pak Tohari maju ke depan, mengutarakan maksud pengisian pada malam itu.
“Kerudung warna jingga ini sudah diisi,” katanya meyakinkan remaja putri yang duduk dengan khusyu’. Sambil terus membagi-bagikan kerudung kepada semua yang hadir.
“Kalau sudah semua,” “coba buka dan bentangkan ke kanan dan ke kiri.” katanya seperti guru biologi yang sedang memberi instruksi kepada murid-muridnya.
“Wati!”
“Ya pak.”
“Mawar.”
“Ya pak”
Kalian semua! Sudah siap?
“Ya, pak,” kompak mereka menjawabnya.

           Mereka membentangkan kerudung yang telah dipegangnya dengan keadaan berbaris dan berbanjar sepuluh-sepuluh ke samping kanan. Tak ada seorangpun yang bicara ataupun berisik. Sementara suasana di luar surau semakin gelap. Hanya ada satu lampu minyak yang menyala menerangi surau.
Sambil terus membaca-baca Asmaul Husna yang dituntunkan pak Tohari, aku dan kawan-kawan melafadzkan dengan kompak. Nadanya seperti nada latihan silat atau karate. Hingga tengah malam, sekitar jam satu malam aku dan kawan-kawan mengakhiri kegiatan pengisian kanoragan. Dilanjutkan dengan wejangan pak Tohari yang menyebabkan bulu kudukku berdiri. Angin dingin menusuk dari jendela, merinding sekujur badan. Dan setelah itu anak-anak surau boleh pulang ke rumah masing-masing. “Kalian harus pulang,” kata pak Tohari. “Sebab tidak mungkin anak-anak perempuan bermalam atau tidur di surau.” Kuatir ada serangan dari gerombolan hitam seperti di desa tetangga seminggu yang lalu.
***
Keesokan harinya sekitar jam delapan pagi penduduk kampung Bagelan sugah gempar. Telah ditemukan mayat perempuan berkerudung di bawah pohon asem di tepi jalan. Badannya dibiarkan telentang dengan leher yang hampir putus. Satu persatu berbondong-bondong datang. Ada yang sekedar ingin melihat, ada yang ingin menolong dan ada yang melongok saja lalu mundur. Seiring dengan kentongan gardu kelurahan terus ditabuh dung, dung, dung, sebagai tanda ada pembunuhan.

Dengan perasaan was-was aku mencoba ikut bergerombol melihat mayat yang masih tergeletak di pinggir jalan itu. Aku menyeruak di antara kerumunan itu dan melihat persis di atas tubuhnya. Ternyata betapa kagetnya aku, bahwa mayat itu sahabat karibku “Faiza”, ya Faiza yang tadi malam ikut sama-sama di surau. Hanya saja dia pulang sendirian tanpa teman ke arah kampung belakang. Maklum rumah Faiza adanya di pojok kampung yang jarang rumah penduduknya.
Selama minggu terakhir ini sudah terjadi tiga kali pembunuhan yang modusnya hampir sama. Dan korbannya adalah anak-anak surau. Maka para Ustadz semakin gencar mengumpulkan anak surau untuk diisi hikmah. Setiap sore para pemuda berkempul dimasjid dan ada pula yang bermalam di depan rumah pak Tohari. Gelar tikar beramai-ramai jaga kampung.Ada yang bawa pedang, celurit,tongkat rotanyang diisi hikmah dan senjata-sejanta tradisional lainnya.

Akhirnya pada akhir bulan itu dalam keadaan gelap gulita datang segerombolan orang beseragam hitam-hitam menyerang warga bagelan. Satu persatu dihadapi oleh pemuda surau. Kekuatan hampir tak seimbang.Tapi ternyata di pagi hari sudah banyak mayat bergelimpangan. Semua berbaju serba hitam dan ikat kepala warna hitam.Ada yang aku kenal dan banyak yang tidak kenal.Tetapi jelas bahwa itu bukan mayat orang kampung Bagelan. Sebab tak ada satu pun sa’at itu pemuda surau yang jadi korban menjadi mayat.
Bau anyir turut tersebar melalui angin kampung saat panen padi. Tapi gagal panen, sebab dua minggu yang lalu padi-padi yang siap panen dibabat habis oleh orang-orang tak dikenal. Hingga dapat dipastikan para petani trauma untuk segera menanami sawahnya lagi, sebelum keadaan dinyatakan aman.
Tak lama kemudian ada berita bahwa aparat pemerintah bergerak cepat. Menindak orang-orang yang terindikasi gerombolan hitam itu. Suasana kampung sedikit demi sedikit berangsur pulih. Pengajian ramai lagi. Anak-anak surau mulai belajar normal seperti sebelum tragedi berdarah berlangsung. Dan Kasim salah satu tokoh pemuda itu bangkit kembali mengaktifkan kelompok-kelompok pengajian dan diba’an. Setelah beberapa minggu tidak muncul di permukaan. Sebab ”ia termasuk sasaran yang diincar oleh gerombolan hitam,” kata pak Tohari suatu saat.
Anak-anak putri pun riuh-rendah melantunkan Solawat Badar manakala pengajian dimulai. Dan kerudung sari warna jingga itu hingga kini menjadi kebanggaanku dan kawan-kawan sebayaku. Karena dengan kerudung itu menyemangati para remaja untuk kompak dan bersatu padu. Tak ada friksi dan geng-gengan, semua merasa bersaudara.

Ketika pak Tohari terbaring lemah menjelang kepergian untuk selama-lamanya, sempat terucap kalimat: ”Tapi sayang, seiring perjalanan waktu tak ada lagi rasanya kekompakan dan persatuan dikalangan anak-anak surau.” Aku dan kawan-kawan hanya menunduk, sambil sesekali mengamini nasehatnya. ”Bahkan sedikit para pemuda kini yang mampu menyatukan hati demi visi IBU PERTIWI,” lanjutnya lirih. ”Yaitu BALDATUN TAYYIBATUN WA RABBUN GHAFUR: Negeri yang makmur di bawah lindungan Tuhan Maha Pengampun.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar