Secara tekstual Ibadah Puasa dipahami sebagai ibadah mahdlah.
Yaitu Ibadah yang bersifat Vertikal, hubungan langsung antara manusia
dengan Tuhannya, Allah swt. Sehingga
Allah swt langsung yang menyatakan dalam Hadits Qudsi “wa ana ajzi bihi;
“Dan Aku yang akan membalas (pahala)nya.” Namun demikian bukan berarti Ibadah
puasa tidak ada hubungannya dengan sosial. Ternyata Allah sangat erat
menghubungkan puasa dengan tatanan sosial.
Coba perhatikan firman-Nya : ” wa ‘ala llazina yuthiequunahu
fidyatun tha’amu miskien.”Dan bagi orang-orang (tua) yang sudah
tidak mampu berpuasa, maka membayar fidyah dengan memberi makan orang
miskin. Jadi kalau ada orang yang sudah lanjut usia, sehingga dalam usia
lanjutnya itu menyebabkan tidak kuat untuk berpuasa, maka boleh tidak berpuasa,
tapi dengan resiko mengganti puasanya dengan membayar fidyah. Yaitu memberi
makanan (beras) satu liter /perhari puasa yang ditinggalkan.
Dalam kasus lain, yang menimpa pada orang Islam yang berhubungan
suami-istri di siang hari - bulan
Ramadlan, juga dikenakan denda berupa kafarat. Yaitu berpuasa dua bulan
berturut-turut atau membayar kafarat, satu liter kali 60 hari sama dengan 60 liter. Dengan contoh kasus
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa puasa sangat erat dengan pembinaan
sosial.
Dengan ibadah vertikal puasa bisa berdampak horizontal. Artinya
tidak hanya untuk Allah swt, tapi juga untuk sesama manusia. Manusia yang selesai menjalani Ibadah Puasa
di bulan Ramadlan, bukan berarti tuntas
sudah tugasnya. Tapi jauh lebih dari itu adalah mengimplementasikan nilai-nilai
puasa di dalam kehidupan sehari-hari pasca Ramadlan. Terutama bagaimana
hubungannya dengan masyarakat.
Dimensi
Sosial
Berbicara tentang Puasa, biasanya orang hanya mengaitkan
hubungannya dengan pahala dan penghapusan dosa. Akan tetapi sebenarnya hikmah
sosial yang terkandung di balik hikmah puasa sangat tinggi nilainya. Dan hal
ini terbukti banyak tela’ah dan kajian yang telah dilakukan oleh para pakar
Islam. Seperti yang dilakukan oleh Imam al-Ghozali ataupun Ulama
kontemporer Dr.Yusuf al-Qardlawi yang tergambar dalam karyanya “As-Sunnah
an-Nabawiyah masdarani lil-Ma’rifah wal-hadlarah, “Sunnah sebagai sumber
Ilmu Pengetahuan dan Peradaban”.
Dalam peradaban manusia dikenal kesantunan hidup bermasyarakat.
Banyak norma-norma adat yang disepakati untuk dilaksanakan oleh setiap individu
dari kelompok masyarakat tersebut. Dan dalam ajaran Islam, Al-Qur’an maupun
as-Sunnah bukan sekedar mendorong, tapi juga membentuk sikap serta perilaku
manusia untuk berlaku kesantunan dalam kelompoknya. Seperti halnya ibadah puasa
yang dalam banyak hal sangat berdampak sosial.
Beberapa contoh di antaranya adalah berhubungan dengan kafarat
ataupun fidyah puasa. Kafarat pelanggaran puasa bagi pelaku intim (suami-istri)
di siang hari harus mengganti dengan memberi makan 60 orang miskin. Wanita yang
hamil atau menyusui harus mengganti dengan fidyah , memberi makan orang miskin
(per/hari) sekitar satu liter beras buat makan orang miskin. Orang tua yang
sudah tidak mampu lagi berpuasa juga harus membayar fidyah yang sama.
Dalam beberapa Hadits Nabi saw juga dijelaskan tentang
kesantunan bertutur kata. Orang yang berpuasa harus meninggalkan kata-kata keji
dan kotor. Sebab kata-kata keji adakalanya menyakitkan hati orang lain (yang
mendengar) atau bisa jadi ucapan kotor bisa menimbulkan nafsu syahwati. Bahkan
Nabi saw. juga memberi Tips bagi pemeliharaan ke-khusyu’an ibadah puasa dengan
resep “ Qul, Innie shaaimun” katakanlah bahwa saya sedang
berpuasa.” Nasehat ini ditujukan kepada orang yang mendengar hardikan orang
lain atau ajakan bertengkar.
Dan ucapan ”Saya sedang puasa” ini tidak dikategorikan sebagai amalan riya’ atau pamer. Karena ini masuk dalam kategori sadduz zari’ah. Yaitu tindakan prefentif, dalam
istilah fiqhiyah. Tindakan pencegahan agar tidak terpancing perbuatan melanggar
syari’at. Dan ini kemudian dapat disimpulkan bahwa ”tidak semua ucapan keras
itu selalu berkonotasi pamer atau riya’.“ Hal ini karena masuk dalam wilayah
komunikasi sosial.
Dengan kajian semacam ini maka dapat dipahami bahwa Puasa
sebenarnya pendidikan sosial yang sangat
tinggi nilainya. Sehingga jika umat Islam benar-benar menjalankan Ibadah
puasa dengan benar, maka tidak berani melakukan dosa sosial. Seperti menghina
orang lain, melakukan kampanye hitam ataupun kecurangan lembaga survei yang
masuk dalam wilayah penyelewengan intelektual. Bahkan umat Islam yang berpuasa
akan menjunjung tinggi hak-hak orang lain dan mengedepankan kesantunan.
Semoga bangsa ini segera memperoleh hikmah puasa yang
dinanti-nantikan oleh semua umat Islam. Yaitu peradaban baru yang memanusiakan
manusia dan memuliakan manusia. Serta hidup makmur di negara yang subur dan
bahagia di akhirat di bawah naungan Tuhan Ilahi Rabbi. Serta memperoleh
syafa’at Rasulillah saw di hari perhitungan amal kelak. Amin.
Oleh
: K. H. Drs. A.Mahfudz Anwar, MA
(Dewan
Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah, Depok)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar