"Welcome to LENTERA ISLAM" Semoga bermanfaat Happy Reading

Rabu, 02 Desember 2015

KHUSYU' BERIBADAH DENGAN RESEP "Qul, Innie shaaimun"


Secara tekstual Ibadah Puasa dipahami sebagai ibadah mahdlah. Yaitu Ibadah yang bersifat Vertikal, hubungan langsung antara manusia dengan Tuhannya, Allah swt.  Sehingga Allah swt langsung yang menyatakan dalam Hadits Qudsi “wa ana ajzi bihi; “Dan Aku yang akan membalas (pahala)nya.” Namun demikian bukan berarti Ibadah puasa tidak ada hubungannya dengan sosial. Ternyata Allah sangat erat menghubungkan puasa dengan tatanan sosial.
Coba perhatikan firman-Nya : ” wa ‘ala llazina yuthiequunahu fidyatun tha’amu miskien.”Dan bagi orang-orang (tua) yang sudah tidak mampu berpuasa, maka membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin. Jadi kalau ada orang yang sudah lanjut usia, sehingga dalam usia lanjutnya itu menyebabkan tidak kuat untuk berpuasa, maka boleh tidak berpuasa, tapi dengan resiko mengganti puasanya dengan membayar fidyah. Yaitu memberi makanan (beras) satu liter /perhari puasa yang ditinggalkan.
Dalam kasus lain, yang menimpa pada orang Islam yang berhubungan suami-istri di siang hari -  bulan Ramadlan, juga dikenakan denda berupa kafarat. Yaitu berpuasa dua bulan berturut-turut atau membayar kafarat, satu liter kali 60 hari  sama dengan 60 liter. Dengan contoh kasus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa puasa sangat erat dengan pembinaan sosial.
Dengan ibadah vertikal puasa bisa berdampak horizontal. Artinya tidak hanya untuk Allah swt, tapi juga untuk sesama manusia.  Manusia yang selesai menjalani Ibadah Puasa di bulan Ramadlan, bukan berarti  tuntas sudah tugasnya. Tapi jauh lebih dari itu adalah mengimplementasikan nilai-nilai puasa di dalam kehidupan sehari-hari pasca Ramadlan. Terutama bagaimana hubungannya dengan masyarakat.
Dimensi Sosial
Berbicara tentang Puasa, biasanya orang hanya mengaitkan hubungannya dengan pahala dan penghapusan dosa. Akan tetapi sebenarnya hikmah sosial yang terkandung di balik hikmah puasa sangat tinggi nilainya. Dan hal ini terbukti banyak tela’ah dan kajian yang telah dilakukan oleh para pakar Islam. Seperti yang dilakukan oleh Imam al-Ghozali ataupun Ulama kontemporer Dr.Yusuf al-Qardlawi yang tergambar dalam karyanya “As-Sunnah an-Nabawiyah masdarani lil-Ma’rifah wal-hadlarah, “Sunnah sebagai sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban”.
Dalam peradaban manusia dikenal kesantunan hidup bermasyarakat. Banyak norma-norma adat yang disepakati untuk dilaksanakan oleh setiap individu dari kelompok masyarakat tersebut. Dan dalam ajaran Islam, Al-Qur’an maupun as-Sunnah bukan sekedar mendorong, tapi juga membentuk sikap serta perilaku manusia untuk berlaku kesantunan dalam kelompoknya. Seperti halnya ibadah puasa yang dalam banyak hal sangat berdampak sosial.

Beberapa contoh di antaranya adalah berhubungan dengan kafarat ataupun fidyah puasa. Kafarat pelanggaran puasa bagi pelaku intim (suami-istri) di siang hari harus mengganti dengan memberi makan 60 orang miskin. Wanita yang hamil atau menyusui harus mengganti dengan fidyah , memberi makan orang miskin (per/hari) sekitar satu liter beras buat makan orang miskin. Orang tua yang sudah tidak mampu lagi berpuasa juga harus membayar fidyah yang sama.


Dalam beberapa Hadits Nabi saw juga dijelaskan tentang kesantunan bertutur kata. Orang yang berpuasa harus meninggalkan kata-kata keji dan kotor. Sebab kata-kata keji adakalanya menyakitkan hati orang lain (yang mendengar) atau bisa jadi ucapan kotor bisa menimbulkan nafsu syahwati. Bahkan Nabi saw. juga memberi Tips bagi pemeliharaan ke-khusyu’an ibadah puasa dengan resep “ Qul, Innie shaaimun” katakanlah bahwa saya sedang berpuasa.” Nasehat ini ditujukan kepada orang yang mendengar hardikan orang lain atau ajakan bertengkar.
Dan ucapan ”Saya sedang puasa” ini  tidak dikategorikan sebagai amalan riya’  atau pamer. Karena ini masuk dalam kategori sadduz  zari’ah. Yaitu tindakan prefentif, dalam istilah fiqhiyah. Tindakan pencegahan agar tidak terpancing perbuatan melanggar syari’at. Dan ini kemudian dapat disimpulkan bahwa ”tidak semua ucapan keras itu selalu berkonotasi pamer atau riya’.“ Hal ini karena masuk dalam wilayah komunikasi sosial.
Dengan kajian semacam ini maka dapat dipahami bahwa Puasa sebenarnya pendidikan sosial yang sangat  tinggi nilainya. Sehingga jika umat Islam benar-benar menjalankan Ibadah puasa dengan benar, maka tidak berani melakukan dosa sosial. Seperti menghina orang lain, melakukan kampanye hitam ataupun kecurangan lembaga survei yang masuk dalam wilayah penyelewengan intelektual. Bahkan umat Islam yang berpuasa akan menjunjung tinggi hak-hak orang lain dan mengedepankan kesantunan.
Semoga bangsa ini segera memperoleh hikmah puasa yang dinanti-nantikan oleh semua umat Islam. Yaitu peradaban baru yang memanusiakan manusia dan memuliakan manusia. Serta hidup makmur di negara yang subur dan bahagia di akhirat di bawah naungan Tuhan Ilahi Rabbi. Serta memperoleh syafa’at Rasulillah saw di hari perhitungan amal kelak. Amin.


Oleh : K. H. Drs. A.Mahfudz Anwar, MA
(Dewan Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah, Depok)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar