Hampir dapat
dipastikan sekarang ini di setiap masjid-masjid besar selalu menyediakan
takjil. Yakni makanan ringan sebagai pembuka puasa. Bahkan di masjid istiqlal
disediakan makanan (kurma dan nasi box) berbuka dengan jumlah ribuan. Banyak
orang-orang Islam yang berdatangan ke masjid Istiqlal menjelang maghrib. Ada
yang datang untuk berburu takjil lanjut shalat jama’ah maghrib. Dan ada juga
yang berburu takjil, lalu pulang lagi tanpa shalat jama’ah. Wal-hasil mereka
berburu takjil di masjid-masjid besar tersebut.
Fenomena semacam ini
tidak hanya terjadi di Negara Indonesia saja, tapi di hampir seluruh penjuru
dunia. Di Masjidil Haram Mekah, di Masjid Nabawi Madinah al-Muawwarah, bahkan
di Eropa dan Amerika sekalipun. Banyak aghniya’ (orang-orang kaya) yang
dengan suka rela menyediakan takjil pada setiap bulan Ramadlan. Bahkan ada yang
memang memprogramkan kegiatan ini setiap tahun dan menjadi kegiatan tahunan
yang terprogram sebagaimana kegiatan resmi lainnya.
Lalu apa arti takjil
yang sebenarnya ? Takjil terambil dari bahasa Arab (yang sudah
meng-Indonesia) “ajala” segera, ajjala-a’jala = mensegarakan. Yang dapat
diartikan “ meneyegerakan makan/minum”. Jadi takjil sebenarnya adalah makan dan
minum segera setelah masuk waktu maghrib. Biasanya ditandai dengan bunyi bedug
maghrib atau suara azan maghrib. Begitu usai azan, langsung makan dan minum
sebagai tanda berakhirnya puasa sehari penuh.
Rasulullah saw
bersabda : “laa yazaalun naasu bi khairin maa ‘ajjaluul fithra.” Manusia selalu dalam kebaikan selagi ia
menyegerakan berbuka. (H.R.Bukhari-Muslim). Dalam riwayat Imam at-Tirmizi
disebutkan : Qalallahu azza wa jalla : ahabbu ‘ibaadie ilayya a’jaluhum
fitran. Allah azza wa jalla berfirman (Hadits Qudsi) : Hambaku yang
paling aku suka adalah yang paling segera berbukanya”.
Merujuk Hadits
tersebut, bahwa menyegerakan buka puasa adalah sunnah Rasulillah. Siapa yang
menghidup-hidupkan sunnah Nabawiyah berarti ia orang mukmin yang sempurna. Oleh
karena itu tradisi takjil di masjid adalah tradisi yang sangat baik bagi
perkembangan Islam. Karena dalam kesempatan makan minum bareng di masjid
tersebut dapat memupuk tali persaudaraan sesama muslim. Si kaya ada kegembiraan
karena bisa membantu si miskin, dan si miskin gembira karena dapat makan-minum
gratis, walau hanya selama bulan Ramadlan.
Namun demikian
sekarang ini ada fenomena yang menggejala di kalangan para pejabat yang
mengundang koleganya untuk berbuka puasa di rumahnya dengan berbagai ragam menu
makanan yang mewah-mewah. Dan yang diundang hanya terbatas di kalangan para
kaya. Sementara si miskin tak tampak dalam deretan undangan tersebut. Hal ini
mengindikasikan kurangnya rasa simpatik kepada orang-orang yang hidup
serba kekurangan.
Bukankah kalau makanan
yang mewah itu dikirim ke masjid akan bisa dinikmati oleh semua kalangan ? Baik
dari kalangan bawah maupun kalangan atas. Apa lagi kalau yang mengirim makanan
ke masjid tersebut juga ikut serta makan bersama umat Islam yang ada di masjid
tersebut. Dan seandainya itu dilakukan pejabat, maka rakyat akan merasakan
kebersamaannya dengan Pemimpin yang dirindukan.
Dan dengan takjil
inilah sebenarnya bisa dijadikan sarana mendekatkan diri antara sesama umat
Islam. Untuk memupuk rasa persaudaraan yang menimbulkan kasih sayang di antara
sesama. Dan akhirnya akan membuahkan kekuatan yang dahsyat dalam memperjuangkan
nilai-nilai ke-Islaman di tengah-tengah masyarakat modern ini. Semoga Ramadlan ini dapat mempersatukan
umat Islam dalam naungan Ilahiyah. Amien.
K.
H. Drs. A. Mahfudz Anwar, MA
(Pengasuh
Pesantren Al-Hamidiyah, Depok)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar