"Welcome to LENTERA ISLAM" Semoga bermanfaat Happy Reading

Kamis, 14 Mei 2015

Serpihan Cinta di Bandara "KING ABDUL AZIZ"

Kisah ini saya tulis di Makkah, Oktober 2014
 Oleh :  A. M. Anwar

Awan putih bergulung-gulung. Seakan berkejaran satu sama lain. Berlari ke arah barat. Dari arah Syi’ib Amir menyeberangi Ka’bah menuju arah Aziziyah. Sesekali terlihat burung dara Fatimah berwarna megan melayang-layang di atas pusaran Ka’bah. Menambah cantiknya pemandangan Kota Mekah manakala Maghrib menjelang. Manusia berpakaian serba putih berbondong-bondong  memadati jalan raya dan gang-gang sempit di pasar Seng maupun pasar Halabi sekitar Masjidil Haram. Arahnya hanya satu, yaitu menuju masjid besar Kota Suci Mekah, Baitul Atiq.
Sementara di sekitar Ka’bah sudah dipadati lautan manusia berputar-putar mengelilingi Ka’bah. Kalau saja dilihat dari atas, maka akan tampak seperti kue bundar yang ditaburi susu kental putih melingkar. Atau seperti hamparan sajadah putih melingkupi Masjidil Haram. Begitu kumandang azan mengalun, tak lama kemudian solat Maghrib dimulai. Suara Imam besar Syekh Abdur Rahman Atsubaiti terdengar mengimami shalat yang terdengar di seantero Mekah.
Saat itu aku tidak dapat mengantar jama’ah rombongan asal Indonesia seperti hari-hari sebelumnya. Kebetulan tugas yang padat akhirnya membuat badanku lemah. Maka aku putuskan shalat berjama’ah di masjid Al-Qamar dekat pemondokanku. Secara kebetulan waktu itu Muazzin rutin masjid Al-Qamar sedang sakit keras. Maka dengan suka rela aku memberanikan diri untuk mengumandangkan azan. Seperti yang biasa aku lakukan ketika di Indonesia. Siapa saja yang mau, boleh azan tanpa harus ada izin dari siapa pun. Apa lagi aku sudah biasa azan ketika nyantri di Pesantren.
Tiba-tiba usai shalat Maghrib, Shekh Harakan Al-Makky sesepuh masjid Al-Qamar mendekati aku. Dia berkata : “Tayyib, anta..”. Sambil menepuk-nepuk pundakku seraya memuji-muji suara azanku  yang menurutnya cukup bagus. “ Min Indunesiy?”  “Na’am yaa Syekh, ana min Indonesiy,” jawabku. “Ana min Jakarta.”  “Tayyib, anta bagus punya suara.” Kata Syekh berbahasa Indonesia yang agak ke arab-araban. Kemudian dia meminta aku agar aku bersedia menjadi muazzin tetap khusus waktu Maghrib dan Isya’.
Tawaran itu merupakan anugrah yang luar biasa bagiku. Karena aku tahu bahwa untuk menjadi seorang muazzin tetap di masjid di tanah Suci Mekah tidaklah mudah. Mesti melalui seleksi yang sangat ketat dari Tokoh masyarakat setempat. Bukan hanya suaranya yang harus merdu, tapi juga sopan-santun dan akhlak kesehariannya.
“Hal anta musta’id  ?”, katanya menegaskan. “Na’am yaa Syekh, Insya Allah,  samahtum, haadza  yasurrunie”. Jawabku dengan senang hati.  Tawaran itu pun aku terima dengan suka cita dan aku jalani setiap waktu sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh Ta’mir Masjid Al-Qamar. Bahkan tidak hanya itu saja. Aku pun sering diminta menjadi badal untuk menggantikan Syekh Harakan membaca Kitab Fathul Qarieb setiap ba’da Maghrib sampai  waktu  Isya’ tiba. Dan aku pun selalu melaksanakan tugas ini dengan tulus dan gembira. Di samping sesekali aku dipanggil ke rumahnya untuk diajak menikmati jamuan makan bersama keluarganya dengan masakan khas menu Arabian.
“Ana aqulu laka, syukran,” kata Syekh Harakan suatu saat mengawali dialog sambil makan malam. Seperti kebiasaan orang Arab, makanan sehari-harinya adalah roti seperti Pizza ditemani  beberapa lauk pauk  berupa gulai kambing muda, sayur-sayuran yang dimasak dengan minyak zaitun, ikan laut basah yang sudah diambil duri-durinya dimasak dengan salat dan susu kental atau aqit. Di samping berbagai macam buah pisang, apel dan jeruk juga minuman anggur serta minuman khas Arab Sari buah kurma ajwa’ (kurma terbaik madinah).
Pembicaraan sampingan pada saat makan malam itu, sampailah akhirnya pada tawaran Syekh kepadaku agar aku bersedia menikahi putri tunggalnya “Zahrat”. Betapa kagetnya, ketika aku mendengar tawaran untuk menikah. Bagaikan disengat listrik, sekujur tubuhku terasa bergetar dan bulu kudukku berdiri. Terasa merinding antara percaya dan tidak. Sebab selama ini aku sudah melihat bahwa puteri Zahrat adalah gadis yang sangat cantik jelita dan amat terkenal di Seantero Kota Mekah. Mungkin tidak satu pun pemuda Arab yang tidak kenal siapa itu “Zahrat.”


Suatu ketika aku pernah mendengar ada dua keluarga terpandang di Kota mekah yang berseteru gara-gara masing-masing ingin menjodohkan anaknya dengan Zahrat. Dan Sekh Harakan pun  tidak menerima salah satu dari Pemuda Arab yang datang meminangnya. Hingga terdengar kabar kalau Zahrat adalah Puteri Mekah yang bernilai tinggi dan mahal di mata masyarakat Mekah.
***
Hari demi hari terus berjalan. Hubunganku dengan sekh Harakan semakin dekat saja. Tidak sekedar hubungan antara murid dan Guru, tapi lebih dari itu aku sudah dianggap seperti anggota keluarga besarnya. “Anta umrah ma’a aa’lati ghadan”, kata syekh Harakan suatu ketika. Syekh minta kepadaku agar aku mau memimpin rombongan keluarga besarnya melakukan Ibadah Umrah yang dimulai dari miqat (makani) Ja’ronah.
Prosesi Umrah berjalan lancar. Mulai dari Ihram di Masjid Ja’ranah sampai Thawaf, Sa’i dan Tahallul berjalan dengan lancar dan mulus. Semua anggota rombongan Umrah sangat gembira bersamaku. Hal itu terbukti pada saat tahallul. Mereka mencukur rambut dengan tawa happy.
Tapi tidak dapat dipungkiri lagi kalau di samping kegembiraan keluarga syekh  Harakan ada satu keluarga yang selama ini berseteru yaitu keluarga Saudagar besar dari golongan Bani Qurthi. Mereka sangat cemburu terhadap ku.  Terlebih ketika syekh Harakan mempercayakan  kepadaku memimpin rombongan keluarganya untuk Umrah sunnah.
Kalau saja tidak ada pertolongan dari Allah swt. mungkin aku dan rombonganku sudah mati semua. “Astaghfirullah...” ,  teriak Ibu-Ibu dan semua yang ada di dalam kendaraan yang aku tumpangi. Di saat kendaraan  melaju di jalan tall antara ja’ranah- Mekah, tiba-tiba ada mobil Volvo hitam metalik yang ngebut zig-zag mendahului kendaraan ku.
Untungnya sopir mobil milik Syekh Harakan sudah sangat piawai dan menguasai medan. Meskipun mobil dihadang dengan zig-zag tetap saja bisa berjalan dengan baik dan lancar. Walaupun mobil sempat tergores dan lampu sebelah kanan sempat pecah akibat benturan dengan mobil Volvo tersebut.
“Labbaik allahumma labbaik..”  Gema Talbiyah terus menerus berlangsung di dalam kendaraan rombongan Umrah. Selama dalam perjalanan aku pimpin rombongan untuk memperbanyak bacaan Talbiyah. Dan tidak henti-hentinya rombongan membaca Talbiyah sambil berdo’a minta perlindungan kepada Allah swt. Agar  ibadah Umrah benar-benar berjalan sesuai dengan kehendak dan Iradah-Nya.
***
Sesampainya di jalan Muh. Kahfi dekat gedung Maulid Nabi saw.  yang sudah hampir mendekati Masjidil Haram, tiba-tiba banyak orang  berkerumun mengerubuti mobil Volvo yang terbalik. Ternyata mobil yang mengalami kecelakaan hebat tersebut adalah mobil Bani Qurthi yang dikendarai Abdul Kohar putera saudagar kaya yang zig-zag menghalangi mobil rombonganku tadi.
Aku dan sebagian rombongan pun segera turun melihat kerumunan orang tersebut. Alangkah terkejutnya aku dan rombongan setelah melihat penumpang mobil Volvo tersebut. Semua luka parah dan bersimbah darah . Tak satu pun di antara mereka yang selamat. Aku hanya mampu mengucap kalimat istirja’  Innaa lillahi wainna ilaihi raajiuun..
Karena waktu Umrah harus berjalan terus, rombongan pun berjalan melanjutkan ritual Umrah dengan memasuki Masjidil Haram melalui pintu “Babus salaam  seperti yang disunahkan oleh Nabi saw. Lalu mendekat Ka’bah melakukan Ibadah Thawaf tujuh kali putaran dan diakhiri dengan mencium Hajar Aswad, yang disinyalir adalah batu khusus yang didatangkan dari surga. Di mana konon di muka bumi ini ada dua macam batu istimewa. Pertama; Hajar Aswad yang dipasang di salah satu sudut Ka’bah dan yang Kedua; batu yang didatangkan dari neraka Sijjil yang dibawa oleh cengkeraman burung Ababil untuk menyerbu pasukan Gajah yang akan menghancurkan Ka’bah.


Usai menjalankan Thawaf menjelang Ibadah Sa’i tiba-tiba datang seorang teman sekolahku dulu dari kampung Narogong di Indonesia. Dia menyampaikan kabar kalau Ibuku yang sudah lama ditinggal mati oleh ayah sepuluh tahun yang lalu kini sedang menderita sakit parah. Maka aku diminta segera pulang ke negeri tercinta, Indonesia.
Berita itu sengaja aku simpan dan tidak aku beritahukan kepada rombongan jama’ah. Takut mengganggu kehusyu’an ibadah Umrah mereka. Baru seminggu kemudian aku sampaikan kepada Syekh Harakan dan Puteri Zahrat kalau aku dalam mingu-minggu ini  harus pulang ke negeri asalku Indonesia. Karena Ibuku satu-satunya orang tua yang aku miliki dan aku muliakan itu sedang sakit keras.
Dengan perasaan yang sedih keluarga syekh mengantar aku ke bandara King Abdul Aziz dengan pelayanan yang amat istimewa. Berbagai macam oleh-oleh mereka persiapkan untukku dan keluargaku di kampung halaman. Hanya kata perpisahan “Ilal liqa’ dan “ma’as salamah” yang mewarnai perpisahan antara aku dan keluarga Syekh Harakan..
Di saat itu aku lihat puteri Zahrat meneteskan air mata haru sambil melambaikan tangan di samping Abah dan Umi nya di pelataran bandara. Kekalutan ku tak mampu menjawab kalimat apa pun atas kebaikan keluarga syekh. Kini yang kuingat hanya Gedung Tua yang kekar dan kokoh di kampung Syi’ib Amir yang selama ini banyak mewarnai kehidupanku selama aku di negeri Arab. “Subhanallah”. ***  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar