Kisah ini saya tulis di Makkah, Oktober 2014
Oleh : A. M. Anwar
Awan putih bergulung-gulung. Seakan berkejaran satu sama lain.
Berlari ke arah barat. Dari arah Syi’ib Amir menyeberangi Ka’bah menuju arah
Aziziyah. Sesekali terlihat burung dara Fatimah berwarna megan melayang-layang
di atas pusaran Ka’bah. Menambah cantiknya pemandangan Kota Mekah manakala
Maghrib menjelang. Manusia berpakaian serba putih berbondong-bondong memadati jalan raya dan gang-gang sempit di
pasar Seng maupun pasar Halabi sekitar Masjidil Haram. Arahnya hanya satu,
yaitu menuju masjid besar Kota Suci Mekah, Baitul Atiq.
Sementara
di sekitar Ka’bah sudah dipadati lautan manusia
berputar-putar mengelilingi Ka’bah. Kalau saja dilihat dari atas, maka akan
tampak seperti kue bundar yang ditaburi susu kental putih melingkar. Atau
seperti hamparan sajadah putih melingkupi Masjidil Haram. Begitu kumandang azan
mengalun, tak lama kemudian solat Maghrib dimulai. Suara Imam besar Syekh Abdur Rahman Atsubaiti terdengar mengimami
shalat yang terdengar di seantero Mekah.
Saat
itu aku tidak dapat mengantar jama’ah rombongan asal Indonesia seperti
hari-hari sebelumnya. Kebetulan tugas yang padat akhirnya membuat badanku
lemah. Maka aku putuskan shalat berjama’ah di masjid Al-Qamar dekat
pemondokanku. Secara kebetulan waktu itu Muazzin rutin masjid Al-Qamar sedang
sakit keras. Maka dengan suka rela aku memberanikan diri untuk mengumandangkan
azan. Seperti yang biasa aku lakukan ketika di Indonesia. Siapa saja yang mau,
boleh azan tanpa harus ada izin dari siapa pun. Apa lagi aku sudah biasa azan
ketika nyantri di Pesantren.
Tiba-tiba
usai shalat Maghrib, Shekh Harakan Al-Makky
sesepuh masjid Al-Qamar mendekati aku. Dia berkata : “Tayyib, anta..”. Sambil
menepuk-nepuk pundakku seraya memuji-muji suara azanku yang menurutnya cukup bagus. “ Min
Indunesiy?” “Na’am yaa Syekh, ana min
Indonesiy,” jawabku. “Ana min Jakarta.”
“Tayyib, anta bagus punya suara.” Kata Syekh berbahasa Indonesia yang
agak ke arab-araban. Kemudian dia meminta aku agar aku bersedia menjadi muazzin
tetap khusus waktu Maghrib dan Isya’.
Tawaran
itu merupakan anugrah yang luar biasa bagiku. Karena aku tahu bahwa untuk
menjadi seorang muazzin tetap di masjid di tanah Suci Mekah tidaklah mudah.
Mesti melalui seleksi yang sangat ketat dari Tokoh masyarakat setempat. Bukan
hanya suaranya yang harus merdu, tapi juga sopan-santun dan akhlak
kesehariannya.
“Hal
anta musta’id ?”, katanya menegaskan.
“Na’am yaa Syekh, Insya Allah, samahtum,
haadza yasurrunie”. Jawabku dengan
senang hati. Tawaran itu pun aku terima
dengan suka cita dan aku jalani setiap waktu sesuai dengan jadwal yang telah
ditetapkan oleh Ta’mir Masjid Al-Qamar. Bahkan tidak hanya itu saja. Aku pun
sering diminta menjadi badal untuk menggantikan Syekh Harakan membaca Kitab
Fathul Qarieb setiap ba’da Maghrib sampai waktu
Isya’ tiba. Dan aku pun selalu melaksanakan tugas ini dengan tulus dan
gembira. Di samping sesekali aku dipanggil ke rumahnya untuk diajak menikmati
jamuan makan bersama keluarganya dengan masakan khas menu Arabian.
“Ana
aqulu laka, syukran,” kata Syekh Harakan suatu saat mengawali dialog sambil
makan malam. Seperti kebiasaan orang Arab, makanan sehari-harinya adalah roti
seperti Pizza ditemani beberapa lauk
pauk berupa gulai kambing muda,
sayur-sayuran yang dimasak dengan minyak zaitun, ikan laut basah yang sudah
diambil duri-durinya dimasak dengan salat dan susu kental atau aqit. Di samping
berbagai macam buah pisang, apel dan jeruk juga minuman anggur serta minuman
khas Arab Sari buah kurma ajwa’ (kurma terbaik madinah).
Pembicaraan
sampingan pada saat makan malam itu, sampailah akhirnya pada tawaran Syekh
kepadaku agar aku bersedia menikahi putri tunggalnya “Zahrat”. Betapa kagetnya,
ketika aku mendengar tawaran untuk menikah. Bagaikan disengat listrik, sekujur
tubuhku terasa bergetar dan bulu kudukku berdiri. Terasa merinding antara
percaya dan tidak. Sebab selama ini aku sudah melihat bahwa puteri Zahrat
adalah gadis yang sangat cantik jelita dan amat terkenal di Seantero Kota Mekah. Mungkin tidak satu pun pemuda Arab yang
tidak kenal siapa itu “Zahrat.”
Suatu
ketika aku pernah mendengar ada dua keluarga terpandang di Kota mekah yang
berseteru gara-gara masing-masing ingin menjodohkan anaknya dengan Zahrat. Dan
Sekh Harakan pun tidak menerima salah
satu dari Pemuda Arab yang datang meminangnya. Hingga terdengar kabar kalau
Zahrat adalah Puteri Mekah yang bernilai tinggi dan mahal di mata masyarakat
Mekah.
***
Hari
demi hari terus berjalan. Hubunganku dengan sekh Harakan semakin dekat saja.
Tidak sekedar hubungan antara murid dan Guru, tapi lebih dari itu aku sudah
dianggap seperti anggota keluarga besarnya. “Anta umrah ma’a aa’lati
ghadan”, kata syekh Harakan suatu ketika. Syekh minta kepadaku agar aku mau
memimpin rombongan keluarga besarnya melakukan Ibadah Umrah yang dimulai dari
miqat (makani) Ja’ronah.
Prosesi
Umrah berjalan lancar. Mulai dari Ihram di Masjid
Ja’ranah sampai Thawaf, Sa’i dan Tahallul
berjalan dengan lancar dan mulus. Semua anggota rombongan Umrah sangat gembira
bersamaku. Hal itu terbukti pada saat tahallul. Mereka mencukur rambut dengan
tawa happy.
Tapi
tidak dapat dipungkiri lagi kalau di samping kegembiraan keluarga syekh Harakan ada satu keluarga yang selama ini
berseteru yaitu keluarga Saudagar besar dari golongan Bani Qurthi.
Mereka sangat cemburu terhadap ku.
Terlebih ketika syekh Harakan mempercayakan kepadaku memimpin rombongan keluarganya untuk
Umrah sunnah.
Kalau
saja tidak ada pertolongan dari Allah swt. mungkin aku dan rombonganku sudah
mati semua. “Astaghfirullah...” ,
teriak Ibu-Ibu dan semua yang ada di dalam kendaraan yang aku tumpangi.
Di saat kendaraan melaju di jalan tall
antara ja’ranah- Mekah, tiba-tiba ada mobil Volvo hitam metalik yang ngebut
zig-zag mendahului kendaraan ku.
Untungnya
sopir mobil milik Syekh Harakan sudah sangat piawai dan menguasai medan.
Meskipun mobil dihadang dengan zig-zag tetap saja bisa berjalan dengan baik dan
lancar. Walaupun mobil sempat tergores dan lampu sebelah kanan sempat pecah
akibat benturan dengan mobil Volvo tersebut.
“Labbaik
allahumma labbaik..” Gema Talbiyah terus menerus berlangsung di
dalam kendaraan rombongan Umrah. Selama dalam perjalanan aku pimpin rombongan
untuk memperbanyak bacaan Talbiyah. Dan tidak henti-hentinya rombongan membaca
Talbiyah sambil berdo’a minta perlindungan kepada Allah swt. Agar ibadah Umrah benar-benar berjalan sesuai
dengan kehendak dan Iradah-Nya.
***
Sesampainya di jalan Muh. Kahfi dekat gedung Maulid Nabi saw. yang sudah
hampir mendekati Masjidil Haram, tiba-tiba banyak orang berkerumun mengerubuti mobil Volvo yang
terbalik. Ternyata mobil yang mengalami kecelakaan hebat tersebut adalah mobil
Bani Qurthi yang dikendarai Abdul Kohar putera saudagar kaya yang zig-zag
menghalangi mobil rombonganku tadi.
Aku
dan sebagian rombongan pun segera turun melihat kerumunan orang tersebut.
Alangkah terkejutnya aku dan rombongan setelah melihat penumpang mobil Volvo
tersebut. Semua luka parah dan bersimbah darah . Tak satu pun di antara mereka
yang selamat. Aku hanya mampu mengucap kalimat istirja’ Innaa lillahi wainna ilaihi raajiuun..
Karena
waktu Umrah harus berjalan terus, rombongan pun berjalan melanjutkan ritual
Umrah dengan memasuki Masjidil Haram melalui pintu “Babus
salaam” seperti yang disunahkan
oleh Nabi saw. Lalu mendekat Ka’bah melakukan
Ibadah Thawaf tujuh kali putaran dan diakhiri dengan mencium Hajar Aswad, yang
disinyalir adalah batu khusus yang didatangkan dari surga. Di mana konon di
muka bumi ini ada dua macam batu istimewa. Pertama; Hajar Aswad yang dipasang di salah satu sudut Ka’bah dan yang Kedua; batu yang didatangkan
dari neraka Sijjil yang dibawa oleh cengkeraman
burung Ababil untuk menyerbu pasukan Gajah yang akan menghancurkan Ka’bah.
Usai
menjalankan Thawaf menjelang Ibadah Sa’i tiba-tiba datang seorang teman sekolahku dulu
dari kampung Narogong di Indonesia. Dia menyampaikan kabar kalau Ibuku
yang sudah lama ditinggal mati oleh ayah sepuluh tahun yang lalu kini sedang
menderita sakit parah. Maka aku diminta segera pulang ke negeri tercinta,
Indonesia.
Berita
itu sengaja aku simpan dan tidak aku beritahukan kepada rombongan jama’ah.
Takut mengganggu kehusyu’an ibadah Umrah mereka. Baru seminggu kemudian aku
sampaikan kepada Syekh Harakan dan Puteri Zahrat kalau aku dalam mingu-minggu
ini harus pulang ke negeri asalku
Indonesia. Karena Ibuku satu-satunya orang tua yang aku miliki dan aku muliakan
itu sedang sakit keras.
Dengan
perasaan yang sedih keluarga syekh mengantar aku ke bandara King Abdul Aziz dengan pelayanan yang amat
istimewa. Berbagai macam oleh-oleh mereka persiapkan untukku dan keluargaku di
kampung halaman. Hanya kata perpisahan “Ilal liqa’ dan “ma’as salamah” yang
mewarnai perpisahan antara aku dan keluarga Syekh Harakan..
Di
saat itu aku lihat puteri Zahrat meneteskan air mata haru sambil melambaikan
tangan di samping Abah dan Umi nya di pelataran bandara. Kekalutan ku tak mampu
menjawab kalimat apa pun atas kebaikan keluarga syekh. Kini yang kuingat hanya Gedung
Tua yang kekar dan kokoh di kampung Syi’ib Amir
yang selama ini banyak mewarnai kehidupanku selama aku di negeri Arab. “Subhanallah”.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar