![]() |
Oleh : K. H. A. Mahfudz Anwar |
Puasa
pada dasarnya adalah menahan diri dari segala bentuk kenikmatan dan kelezatan.
Misalnya menahan makan dan minum (kelezatan perut), menahan nafsu syahwat
(kenikmatan libido). Pokoknya segala bentuk kegiatan yang bersifat menahan diri
bisa disebut Puasa. Dalam bahasa Arab “Shaum” disebut imsak
(menahan). Maka biasanya sepuluh menit menjelang subuh dikumandangkan dari
pengeras suara masjid kata “Imsaak, imsaak...” artinya di sa’at itu
sudah harus menahan diri untuk tidak makan, minum dan berhubungan sebadan.
Dalam
tradisi Jawa ada istilah “Tarak”. Yaitu kegiatan tidak makan (pantang) makanan
tertentu. Bagi wanita hamil – misalnya- disuruh tarak oleh mertuanya tidak
boleh makan ini dan itu agar kelak kalau melahirkan bisa lancar. Dan kata tarak
sebenarnya berasal dari Bahasa Arab “Taroka”; artinya meninggalkan. Jadi tarak
bagi tradisi Jawa adalah meninggalkan sesuatu untuk tidak dimakan pada saat
tertentu. Misalnya anak laki-laki yang baru saja dikhitan juga disuruh tarak
oleh orang tuanya agar lukanya lekas sembuh. Dan masih banyak lagi kegiatan
tarak. Dan itu sebenarnya sejalan dengan konsep puasa dalam Islam.
Meninggalkan
sesuatu –dalam waktu tertentu- ternyata punya manfa’at yang banyak. Misalnya
meninggalkan banyak makan, bisa menjadikan badan lebih langsing atau ramping.
Dan ini digemari oleh kaum wanita. Karena mereka ingin punya bodi yang ramping,
yang dianggap seksi. Meninggalkan banyak minum
Es juga ada manfa’atnya bagi
tubuh seseorang. Demikian juga menahan diri dari syahwat. Bagi yang terbiasa menahan
syahwat dan mampu menjaganya, maka ia akan semakin kuat berhubungan badan.
Menahan diri dari banyak bicara, bisa menjadikan diri lebih selamat. Dan masih
banyak lagi manfa’at puasa. Seperti sabda Nabi saw “Shuumu tashihhu ;
berpuasalah, maka kamu akan sehat”.
Hedonisme
Hedonisme
adalah kesenangan atau kelezatan dalam hidup. Paham ini menganggap bahwa setiap
perbuatan yang mendatangkan kelezatan dianggap baik. Sehingga mereka menentukan
perbuatan itu baik manakala mendatangkan kesenangan atau kelezatan. Dalam kata
lain paham hedonisme mengarahkan hidupnya pada setiap aktifitas yang
menyenangkan atau bersenang-senang saja. Tidak mau melakukan kegiatan yang
sifatnya lebih menjurus prihatin atau menahan diri. Istilahnya mereka hidup
berfoya-foya atau berhura-hura.
Akitifitas
hura-hura ini kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang tidak punya keyakinan
masa akhir atau hidup setelah mati. Dikiranya bahwa hidup itu hanya di dunia
saja. Setelah mati, mereka katakan tidak ada kehidupan lagi. Sehingga mereka
hidup seperti bergelimang pada hiburan saja. Yang ada hanya bersenang-senang
saja.
Dan
Puasa dalam Islam bisa menjadikan manusia lebih berfikir tentang fakta di balik
kenikmatan. Bahwa di balik kenikmatan ada kesengsaraan. Dan di balik
kesengsaraan ada kenikmatan. Jadi orang mukmin yang berpuasa sadar bahwa usai
puasa akan ada kenikmatan yang diperolehnya. Seperti sabda Nabi saw yang
mengajarkan bahwa “ Ada dua kegembiraan bagi orang yang berpuasa. “Lis
shaaimi farhataani”. Pertama;
Kegembiraan ketika berbuka puasa. Dan kedua ; kegembiraan saat bertemu
dengan Tuhannya (kelak di taman surga). “Farhatun indal ifthar wa farhatun
‘inda liqaa’i Rabbih.”
Wal-hasil
puasa sebenarnya bisa melawan hedonisme. Dalam arti dengan berpuasa bisa
mengendalikan hawa nafsu yang senantiasa mendorong untuk menjurus kenikmatan
sementara/semu. Dengan berpuasa bisa mengatur ritme kehidupan. Sekali waktu
senang dan bergembira dan di saat lain mampu menahan diri. Sebagaimana sabda
Nabi saw : “Orang kuat adalah orang yang mampu menahan hawa nafsu. Sedangkan
orang yang lemah adalah mereka yang tidak mampu menahan diri dari sesuatu yang
tidak dibutuhkannya”.
Dan
dewasa ini banyak orang yang mengerjakan sesuatu yang tidak dibutuhkan atau
minimal tidak menjadi perioritas. Mengerjakan apa saja, sementara manfa’atnya
tidak dapat dirasakan. Sehingga waktu
dan hartanya habis terbuang sia-sia (la’ibun wa lahwun).
Waktu/umur dan hartanya tidak berkualitas. Tidak produktif. Dan puasa
mengajarkan manusia untuk memenej hidupnya untuk berkualitas. Akhir
kesimpulannya bahwa puasa (menahan diri) merupakan proses manusia untuk menjadi
lebih baik. Ibarat kepompong yang berhari-hari puasa, kemudian berubah menjadi
kupu-kupu yang indah dan menyenangkan setiap orang yang melihatnya. Wallahu
a’lam bis shawab. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar