"Welcome to LENTERA ISLAM" Semoga bermanfaat Happy Reading

Rabu, 11 November 2015

PUASA MELAWAN HEDONISME


Oleh : K. H. A. Mahfudz Anwar

Puasa pada dasarnya adalah menahan diri dari segala bentuk kenikmatan dan kelezatan. Misalnya menahan makan dan minum (kelezatan perut), menahan nafsu syahwat (kenikmatan libido). Pokoknya segala bentuk kegiatan yang bersifat menahan diri bisa disebut Puasa. Dalam bahasa Arab “Shaum” disebut imsak (menahan). Maka biasanya sepuluh menit menjelang subuh dikumandangkan dari pengeras suara masjid kata “Imsaak, imsaak...” artinya di sa’at itu sudah harus menahan diri untuk tidak makan, minum dan berhubungan sebadan.
Dalam tradisi Jawa ada istilah “Tarak”. Yaitu kegiatan tidak makan (pantang) makanan tertentu. Bagi wanita hamil – misalnya- disuruh tarak oleh mertuanya tidak boleh makan ini dan itu agar kelak kalau melahirkan bisa lancar. Dan kata tarak sebenarnya berasal dari Bahasa Arab “Taroka”; artinya meninggalkan. Jadi tarak bagi tradisi Jawa adalah meninggalkan sesuatu untuk tidak dimakan pada saat tertentu. Misalnya anak laki-laki yang baru saja dikhitan juga disuruh tarak oleh orang tuanya agar lukanya lekas sembuh. Dan masih banyak lagi kegiatan tarak. Dan itu sebenarnya sejalan dengan konsep puasa dalam Islam.

Meninggalkan sesuatu –dalam waktu tertentu- ternyata punya manfa’at yang banyak. Misalnya meninggalkan banyak makan, bisa menjadikan badan lebih langsing atau ramping. Dan ini digemari oleh kaum wanita. Karena mereka ingin punya bodi yang ramping, yang dianggap seksi. Meninggalkan banyak minum  Es  juga ada manfa’atnya bagi tubuh seseorang. Demikian juga menahan diri dari syahwat. Bagi yang terbiasa menahan syahwat dan mampu menjaganya, maka ia akan semakin kuat berhubungan badan. Menahan diri dari banyak bicara, bisa menjadikan diri lebih selamat. Dan masih banyak lagi manfa’at puasa. Seperti sabda Nabi saw “Shuumu tashihhu ; berpuasalah, maka kamu akan sehat”.
Hedonisme
Hedonisme adalah kesenangan atau kelezatan dalam hidup. Paham ini menganggap bahwa setiap perbuatan yang mendatangkan kelezatan dianggap baik. Sehingga mereka menentukan perbuatan itu baik manakala mendatangkan kesenangan atau kelezatan. Dalam kata lain paham hedonisme mengarahkan hidupnya pada setiap aktifitas yang menyenangkan atau bersenang-senang saja. Tidak mau melakukan kegiatan yang sifatnya lebih menjurus prihatin atau menahan diri. Istilahnya mereka hidup berfoya-foya atau berhura-hura.
Akitifitas hura-hura ini kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang tidak punya keyakinan masa akhir atau hidup setelah mati. Dikiranya bahwa hidup itu hanya di dunia saja. Setelah mati, mereka katakan tidak ada kehidupan lagi. Sehingga mereka hidup seperti bergelimang pada hiburan saja. Yang ada hanya bersenang-senang saja.
Dan Puasa dalam Islam bisa menjadikan manusia lebih berfikir tentang fakta di balik kenikmatan. Bahwa di balik kenikmatan ada kesengsaraan. Dan di balik kesengsaraan ada kenikmatan. Jadi orang mukmin yang berpuasa sadar bahwa usai puasa akan ada kenikmatan yang diperolehnya. Seperti sabda Nabi saw yang mengajarkan bahwa “ Ada dua kegembiraan bagi orang yang berpuasa. “Lis shaaimi farhataani”. Pertama;  Kegembiraan ketika berbuka puasa. Dan kedua ; kegembiraan saat bertemu dengan Tuhannya (kelak di taman surga). “Farhatun indal ifthar wa farhatun ‘inda liqaa’i Rabbih.”
Wal-hasil puasa sebenarnya bisa melawan hedonisme. Dalam arti dengan berpuasa bisa mengendalikan hawa nafsu yang senantiasa mendorong untuk menjurus kenikmatan sementara/semu. Dengan berpuasa bisa mengatur ritme kehidupan. Sekali waktu senang dan bergembira dan di saat lain mampu menahan diri. Sebagaimana sabda Nabi saw : “Orang kuat adalah orang yang mampu menahan hawa nafsu. Sedangkan orang yang lemah adalah mereka yang tidak mampu menahan diri dari sesuatu yang tidak dibutuhkannya”.
Dan dewasa ini banyak orang yang mengerjakan sesuatu yang tidak dibutuhkan atau minimal tidak menjadi perioritas. Mengerjakan apa saja, sementara manfa’atnya tidak dapat dirasakan. Sehingga waktu  dan hartanya habis terbuang sia-sia (la’ibun wa lahwun). Waktu/umur dan hartanya tidak berkualitas. Tidak produktif. Dan puasa mengajarkan manusia untuk memenej hidupnya untuk berkualitas. Akhir kesimpulannya bahwa puasa (menahan diri) merupakan proses manusia untuk menjadi lebih baik. Ibarat kepompong yang berhari-hari puasa, kemudian berubah menjadi kupu-kupu yang indah dan menyenangkan setiap orang yang melihatnya. Wallahu a’lam bis shawab. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar