"Welcome to LENTERA ISLAM" Semoga bermanfaat Happy Reading

Kamis, 11 Februari 2010

Pendidikan Pesantren berbasis Kiyai



          Dalam suatu diskusi S2 (Pasca Sarjana), Prof. Mastuhu mengatakan bahwa “Suatu saat Pemerintah (RI) akan mengadopsi system pendidikan Pondok Pesantren.” Hal ini didasarkan atas penelitiannya di beberapa pondok pesantren salaf (salafiyah) di Pulau Jawa. Sebagai seorang peneliti kawakan, ia merasa sangat tertarik dan kagum setelah terlibat langsung dalam (ketika meneliti) proses kehidupan santri bersama para ustadz dan Kiai mereka.



        Bahkan dinyatakan pula bahwa beberapa Profesor dan pakar pendidikan Barat telah banyak mengadopsi system Pendidikan Pondok Pesantren Indonesia. Di Eropa, Amerika dan Australia telah lama mempelajari system Pendidikan Pondok Pesantren “Salaf” yang tersebar hampir di seluruh Indonesia; terutama di Pulau Jawa. Mulai dari system pembelajarannya sampai pola hidup santri yang diterapkan di Pondok-pondok Pesantren Salaf.
         Kini di kota-kota besar banyak tumbuh Lembaga Pendidikan Umum (SMP-SMA) yang menggunakan system Pendidikan berasrama ( Boarding School). Bahkan tumbuh bak jamur di musim penghujan, sekolah-sekolah yang kurikulumnya mirip di Pondok Pesantren Salaf. Sekolah-sekolah favorit yang berbiaya mahal, banyak sekali yang mengadopsi system Pendidikan Pondok Pesantren Salaf.

-Tradisi Keilmuan Pesantren

           Pondok Pesantren telah banyak melahirkan Pakar dan ahli agama (Islam). Hal ini tidak terlepas dari pengaruh positif proses pendidikan selama penggemblengan santri ketika di pesantren. Misalnya –sebut saja- Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang; menghasilkan banyak alumni ahli Fiqh, Pesantren Tebu Ireng (Pendiri K.H.Hasyim Asy’ari), menghasilkan ahli Hadits, Pesantren Lirboyo , Kediri, menghasilkan banyak ahli Ilmu Alat (Nahwu, Sharaf, Arudl). Pesantren (mBah Arwai) Salafiyah Kudus telah banyak melahirkan Hafidz-Hafiz Al-Qur’an yang handal. Di Kabupaten Bogor banyak Pesantren Salaf yang melahirkan Qari’-Qari’ah Al-Qur’an bertaraf Nasional/Internasional. Dan sekarang bahkan bermunculan Pondok-pondok Pesantren Kaligrafi.

           Pendidikan Pesantren Salaf yang mengacu pada referensi kitab-kitab klasik (kitab kuning) tidak mengenal jenjangan kelas (seperti di sekolah) tapi individual. Di Pesantren Salaf lebih dikenal system pembelajaran Bandongan dan Sorogan. Di mana seorang Ustadz atau Kiai membaca kitab tertentu (missal Riyadlus Shalihin), lalu semua santri secara bersamaan mendengar dengan khusyu’ sambil menulis arti kata per-kata. Dan kitab yang telah diberi arti tersebut dijuluki kitab gandul atau gondrong. Karena terjemahnya ditulis gandul di bawah setiap lafadz atau kalimat yang dibaca oleh Ustadznya. Sedang kitab yang belum diberi makna disebut kitab Gundul. karena masih bersih belum ada syakal maupun arti. Mirip kepala yang baru saja dicukur gundul, bersih dari rambut.


            Dan kedua adalah sistem Pengajian Sorogan. Di mana setiap santri secara individual menyorog bacaan kitabnya kepada Ustadz senior atau Kiainya. Terutama bagi santri-santri yang sudah senior atau sudah agak bisa membaca kitab kuning secara gundul. Dan hal semacam ini juga pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i menyorog kitab Hadits “Al-Muwattha’ “ kepada gurunya yang bernama Imam Malik ketika belajar di Madinah Al-Munawwarah. (Imam Syafi’i waktu itu sebagai santri yang datang dari Baghdad, Irak)
Jadi peningkatan keilmuan para santri didasarkan pada kemampuan membaca Kitab salaf. Misalnya seorang santri baru akan pindah kitab “Fathul Qarieb” setelah menghatamkan kitab “Matan Taqrieb”. Lalu pindah kitab “I’anatut Thalibien” setelah menguasai kitab “Fat-hul Mu’in”. Kemudian Fat-hul Wahab, baru fat-hul Izar. Dan begitu seterusnya.

-Standarisasi Pesantren Salaf

Kalau kita mau merunut perjalanan sejarah keberhasilan Pondok Pesantren Salaf, maka sebaiknya membiarkan Pondok Pesantren Salaf berciri khas keilmuan masing-masing Pesantren. Demikian juga kitab-kitab kuning yang dikaji hendaknya diserahkan sepenuhnya kepada Kiai pemangku Pondok Pesantren tersebut. Layaknya olah raga, biarkan Pendekar Silat mengajarkan ilmu persilatan di Padepokannya . Dan biarkan Icuk Sugiarto –misalnya- mengajarkan Bulu Tangkis pada murid-muridnya hingga menjadi pebulu tangkis yang handal.

        Seorang Kiai seperti Kiai Syahid Bandung –misalnya- biarkan berkreasi mencetak Qari’-Qari’ handal, sehingga membawa nama harum Jawa Barat (dalam MTQ Nasional) dan bangsa Indonesia (dalam MTQ Internasional. Dan biarkan seperti Kiai Farhan Bogor –misalnya- mendidik dengan metode dan caranya sendiri kepada santri-santrinya menjadi Hafidz dan Hafidzah yang handal. Biarkan Kiai-kiai ahli Kitab kuning yang tersebar di Jawa Barat mendidik santrinya dengan cara dan materinya masing-masing yang dikuasai. Dan inilah yang dimaksud (dalam tulisan ini) dengan Pendidikan Pesantren berbasis Kiai.
         Oleh karena itu sebaiknya Pemerintah (dalam hal ini Departeman Agama) hanya bertindak sebagai fasilitator saja. Bukan menstandarisasi atau menseragamkan Pesantren seperti yang telah terjadi di Madrasah yang ada sekarang. Fasilitas yang dibutuhkan mereka (Ponpes. Salaf) adalah perluasan masjid atau mushalla, kamar-kamar santri , perpustakaan Pesantren yang bisa dijadikan rujukan dalam pendalaman keilmuan para santri. Dan yang lebih penting lagi adalah kesejahteran guru-gurunya dan kesejahteraan santri-santrinya ( Contoh; tambahkan insentif bulanan bagi guru-guru pesantren salaf dan Diniyah dengan uang APBN serta bia siswa bagi santri-santri yang telah mampu membaca fa-hul qarieb misalnya)

          Dengan demikian Pesantren akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan habitatnya masing-masing, tanpa kehilangan jati dirinya. Dan keragaman keilmuan pondok pesantren justru akan memperkaya hazanah ilmu dan budaya umat Islam Indonesia. Wallahu a’lam bis shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar